JAKARTA RAYA – Sejumlah masyarakat menggugat menggugat KPU RI Rp7 Triliun ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin, (30/10/2023). Gugatan tersebut berkaitan dengan KPU RI yang menerima pendaftaran salah satu pasangan Capres Cawapres yang diduga telah melanggar Peraturan KPU (PKPU).
“Alasan mengajukan gugatan yaitu karena KPU RI menerima pendaftaran salah satu bacawapres yang diduga bertentangan dengan Peraturan KPU,” tulis dalam keterangan warga tersebut yang dikutip, Senin (30/10/2023).
Pengacara penggugat, Sunan Kalijaga membenarkan gugatan tersebut. “Ada 3 orang yang akan menggugat,” ucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ketua Divisi Teknis KPU RI, Idham Holik mengatakan bahwa dirinya baru mendapatkan informasi tersebut. Sehingga, Idham enggan mengomentarinya. “Saya baru tahu lewat broadcast message yang beredar messenger,” katanya.
Gugatan ini bermula ketika KPU RI menerima pendaftaran Subianto dan Ganjar Pranowo sebagai pasangan Capres Cawapres Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.
Pendaftaran itu diduga telah melanggar PKPU nomor 19 tahun 2023 tentang pencalonan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam PKPU disebut bahwa batas usia Capres dan Cawapres 40 tahun.
Sejumlah pihak pun mengajukan uji materiil soal batas usia Capres dan Cawapres 40 tahun. Petitumnya bervariasi, mulai dari minimal 22 sampai 35 tahun.
Ada juga yang meminta batas usia Capres Cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman menjadi kepala daerah. Dari sejumlah gugatan tersebut hanya batas usia Capres Cawapres 40 tahun atau memiliki pengalaman menjadi kepala daerah yang dikabulkan MK.
Yakni perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Sejumlah pakar hukum pun menilai bahwa putusan tersebut diberlakukan pada Pemilu 2029.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie menuturkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres) relevannya diimplementasikan pada Pemilu 2029.
Kata Jimly, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang pencalonan peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden harus tersinkronisasi dengan putusan tersebut.
Sementara, PKPU tersebut telah diterbitkan. Artinya, KPU harus merubahnya kembali apabila ingin diterapkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
“Sesudah putusan MK kan ada perubahan PKPU dulu, nah masih sempet gak KPU mengubah? Karena waktunya sudah pendek sekali,” ujarnya.
Mantan ketua MK periode 2003-2008 ini lantas mengibaratkan Pemilu dengan pertandingan sepak bola. Di mana para punggawa yang sudah turun ke lapangan dan bermain namun tiba-tiba ada peraturan yang dikeluarkan oleh FIFA. Hal ini pun menyebabkan kegaduhan.
“Pemilu ini sudah jalan, pendaftaran partai sudah, memang pendaftaran Capres Cawapres belum, tapi partai pengusung yang sudah disahkan, yang sudah memenuhi syarat sudah disahkah. Jadi tahapan pemilu ini sudah disahkan,” ucapnya.
“Aturan baru ini kan gak bener ya kan, maka aturan baru itu harus diberlakukan yang akan datang bukan pertandingan sekarang. Nah kalau Pemilu pertandingan selanjutnya ya 2029, mestinya kayak gitu,” tambah Jimly.
Kata Jimly untuk merubah peraturan itu, KPU RI diwajibkan berkonsultasi dengan DPR RI dan Pemerintah. Meski begitu, kata dia konsultasi itu tidak mengikat. Artinya, KPU tidak wajib mengikuti pendapat DPR.
Namun, dalam prakteknya KPU segan bila tidak mengikuti pendapat DPR RI secara mayoritas. Hal ini membuat independensi KPU RI dipertanyakan.
“Sanggup gak mereka (KPU RI) mengikuti putusan MK itu dengan mengubah PKPU dengan mengabaikan pendapat-pendapat DPR,” ucapnya.
Apalagi, menurut Jimly banyak fraksi yang geram dengan putusan tersebut. Yakni fraksi parlemen yang berkoalisi dengan partai pendukung Capres. Diantaranya, PDIP, PPP, NasDem, PKB, PKS dan Demokrat.
“Kalau dikumpulkan dua kubu. Kubu AMIN (Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar) yakni Nasdem, PKB, PKS Ini pada marah semua ini sekarang dengan putusan MK itu. Nah kubu kedua PDIP plus PPP juga marah dengan putusan MK ini dan jumlahnya dua kubu ini sudah 54 persen,” jelas Jimly.
Dia mengatakan bahwa kalau KPU RI mengabaikan tahapan untuk mengubah PKPU akan menimbulkan masalah. Misalnya, PKPU bertentangan dengan putusan MK.
“Untuk menilai karena Putusan MK itu sama dengan undang-undang, maka untuk menilai apakah PKPU itu bertentangan atau tidak bertentangan dengan UU itu harus dinilai dengan MA , Judicial Review ke Mahkamah Agung (MA),” ungkapnya.
Kemudian, apabila PKPU tersebut tidak diubah namun terjadi Pilpres juga akan menimbulkan perselisihan. Yakni perselisihan hasil Pilpres.
“Nanti perselisihan hasil pilpres itu kan di bawa ke MK. Nanti MK akan menjadikan putusannya terdahulu sebagai putusan. Bisa saja, Capres yang menang tapi tidak memenuhi syarat menurut Putusan MK. Dibatalkanlah oleh MK keterpilihannya, jadi kemungkinannya masih banyak,” jelas Jimly.(hab)
Penulis : Hadits Abdillah
Editor : Hadits Abdillah