Oleh: Rd. Yudi Anton Rikmadani, Dosen STIH Prof Gayus Lumbuun

JAKARTA RAYA – Putusan Pengadilan Negeri yang menyeret Tom Lembong ke dalam pusaran pidana telah menjadi perhatian publik, karena menimbulkan tanda tanya besar: apakah bentuk penegakan
hukum, atau justru bentuk kriminalisasi?. Dalam sebuah negara hukum, setiap proses penegakan hukum haruslah berjalan berdasarkan azas due process of law bukan atas dasar tekanan politik, kepentingan sesaat, atau manipulasi tafsir hukum.

Mengutip salah satu pertimbangan hakim dari www.hukumonlien.com, megatakan “Terdakwa selaku Menteri Perdagangan tanpa didukung rapat koordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait dan tanpa dilengkapi rekomendasi dengan kementerian perindustrian telah menerbitkan surat persetujuan impor, sehingga Terdakwa bertindak tanpa perintah di luar koordinasi yang ditetapkan bahkan bertentangan dengan arah rapat koordinasi yang menetapkan impor melalui BUMN bukan melalu perusahaan swasta”.

Tom Lembong, seorang mantan pejabat publik dengan rekam jejak bersih, dikenal sebagai ekonom progresif yang konsisten mengedepankan transparansi, integritas, dan akuntabilitas. Kasus yang menjerat Tom Lembong, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan didakwa karena menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) tanpa koordinasi penuh dengan kementerian/lembaga lain.

Menurut logika hukum administrasi negara, perbedaan pandangan antar kementerian adalah hal biasa dalam sistem pemerintahan. Rapat koordinasi lintas lembaga tidak bersifat mengikat secara yuridis, kecuali ditetapkan secara formal melalui peraturan atau keputusan presiden. Maka, menjadikan keputusan sepihak menteri yang dilakukan dalam kerangka jabatan sebagai dasar pemidanaan, berpotensi mencederai prinsip diskresi pejabat publik yang dijamin dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.

Dalam sistem pemerintahan modern, khususnya di negara demokratis dengan sistem presidensial seperti Indonesia, seorang menteri memiliki kewenangan diskresioner dalam menjalankan tugas-tugas kementeriannya. Lebih lanjut, SPI adalah produk administratif, bukan pidana. Bahwa keputusan itu mungkin bertentangan dengan arahan rapat koordinasi atau tidak melalui jalur BUMN sebagaimana diusulkan, tidak serta-merta menjadikannya perbuatan melawan hukum secara pidana, kecuali ada bukti nyata adanya niat jahat (mens rea). Jika setiap kebijakan pejabat publik yang berbeda tafsir atau jalur administratifnya dapat dikriminalisasi, maka tidak ada satu pun menteri yang akan berani mengambil keputusan.

Kriminalisasi bukan hal baru dalam sejarah hukum Indonesia. Banyak tokoh, aktivis, dan bahkan pejabat negara yang mengalami proses hukum yang janggal karena dianggap berseberangan dengan kepentingan kekuasaan atau oligarki ekonomi. Jika kriminalisasi terhadap Tom Lembong benar terjadi, maka itu bukan hanya serangan terhadap individu, melainkan serangan terhadap akal sehat, integritas pejabat negara, dan semangat reformasi itu sendiri. Oleh karena itu negara akan terjebak dalam kelumpuhan birokrasi dan ketakutan berlebih yang justru melumpuhkan pelayanan publik.

Kita tentu tidak menolak proses hukum. Namun, hukum tidak boleh digunakan sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai instrumen keadilan. Putusan pengadilan yang kontroversial, jika tidak dijelaskan secara gamblang dan dibuka ke publik, hanya akan memperkuat asumsi bahwa hukum sedang dijadikan alat untuk membungkam, menyingkirkan, atau mendiskreditkan tokoh yang bersuara kritis.

Hukum harus ditegakkan bukan dipermainkan. Ia harus menjadi pelindung, bukan alat penindas. Ia harus menjamin keadilan, bukan melanggengkan kepentingan. Karena bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kita sedang menyaksikan bukan tegaknya keadilan, melainkan keruntuhannya. (***)