JAKARTA RAYA, Jambi – Bandara Muara Bungo bukanlah proyek sesaat. Kehadirannya merupakan hasil dari proses panjang lintas waktu dan lintas kepemimpinan, yang berangkat dari kesadaran kolektif bahwa Kabupaten Bungo membutuhkan konektivitas udara untuk menopang perannya sebagai pusat pertumbuhan wilayah. Sejarah ini dibangun melalui kesinambungan kebijakan antara eksekutif dan legislatif daerah dari satu periode ke periode berikutnya.

Kini, pada masa kepemimpinan H. Dedy Putra sebagai Bupati Bungo periode 2025–2030, perjalanan panjang tersebut memasuki babak baru: terwujudnya konektivitas langsung dengan Jakarta melalui kehadiran Batik Air.

Penandatanganan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Kabupaten Bungo dan Lion Group untuk pembukaan rute Jakarta–Muara Bungo bukan sekadar sermoni kerja sama penerbangan. Momentum ini menjadi simbol penuntasan satu siklus perjuangan kebijakan yang telah dimulai lebih dari satu dekade lalu. Kesepakatan yang ditandatangani di Jakarta dan disaksikan Gubernur Jambi H. Al Haris tersebut membuka jalan bagi layanan penerbangan berjadwal tetap, dengan target operasional pada Februari–Maret 2026, setelah pembaruan dokumen Aeronautical Information Publication (AIP).

Bagi Kabupaten Bungo, konektivitas udara bukan semata isu teknis transportasi. Ia berkaitan langsung dengan posisi strategis daerah ini sebagai pusat perekonomian, pendidikan, dan layanan kesehatan di Jambi Wilayah Barat. Aktivitas perdagangan yang tinggi serta arus layanan publik lintas kabupaten menjadikan Bungo sebagai simpul pergerakan masyarakat kawasan sekitar. Tanpa dukungan konektivitas udara yang memadai, peran strategis tersebut berjalan dengan beban logistik dan waktu yang tidak efisien.

Sejarah Bandara Muara Bungo mencerminkan dinamika tersebut. Pada masa kepemimpinan H. Zulfikar Ahmad sebagai Bupati Bungo periode 2001–2006 dan 2006–2011, pembangunan bandara diletakkan sebagai bagian dari visi besar penguatan infrastruktur wilayah. Pada fase ini, agenda bandara mulai diperjuangkan secara serius sebagai kebutuhan strategis daerah, seiring meningkatnya peran Bungo dalam struktur ekonomi wilayah barat Provinsi Jambi.

Dalam periode yang sama, H. Sudirman Zaini menjabat sebagai Wakil Bupati Bungo (2006–2011), mendampingi H. Zulfikar Ahmad. Peran ini memastikan kesinambungan agenda pembangunan bandara di tingkat eksekutif. Estafet kepemimpinan berlanjut ketika H. Sudirman Zaini dipercaya sebagai Bupati Bungo periode 2011–2016, sehingga perjuangan menghadirkan bandara terus dikawal hingga tahap realisasi.

Di sisi lain, peran legislatif daerah menjadi penopang penting. Pada periode 2004–2009, H. Dedy Putra menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Bungo, setelah sebelumnya menjadi anggota DPRD. Dalam posisi tersebut, ia berperan aktif memperkuat perjuangan pembangunan bandara melalui jalur legislasi dan advokasi kebijakan, termasuk melibatkan pemerintah pusat. Bahkan, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bungo saat itu mendatangkan 12 anggota DPR RI untuk meninjau langsung kondisi daerah dan urgensi pembangunan Bandara Muara Bungo.

Kolaborasi berkelanjutan antara Pemerintah Kabupaten Bungo di bawah kepemimpinan H. Zulfikar Ahmad, dilanjutkan oleh H. Sudirman Zaini, serta dukungan kuat DPRD Kabupaten Bungo, akhirnya membuahkan hasil. Puncak perjuangan tersebut ditandai dengan diresmikannya Bandara Muara Bungo (BUU) pada tahun 2012, yang menjadi pintu awal konektivitas udara bagi Jambi bagian barat.

Seiring waktu, Bandara Muara Bungo dilayani secara bertahap oleh sejumlah maskapai, seperti Susi Air, NAM Air, dan Wings Air. Meski dengan keterbatasan rute dan frekuensi, layanan tersebut menjaga bandara tetap berfungsi sebagai simpul transportasi regional.

Namun, dinamika pembangunan daerah menuntut lebih dari sekadar keberadaan bandara. Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi, kebutuhan dunia usaha, serta peran Bungo sebagai pusat layanan pendidikan dan kesehatan membutuhkan konektivitas yang lebih representatif. Di sinilah kehadiran Batik Air menjadi penanda peningkatan kualitas layanan penerbangan, dengan pesawat jet dan akses langsung ke Jakarta.

Dalam kerangka kepemimpinan H. Dedy Putra sebagai Bupati Bungo periode 2025–2030, bandara tidak lagi diposisikan sebagai infrastruktur yang berdiri sendiri, melainkan sebagai instrumen strategis pembangunan daerah. Konektivitas udara diharapkan mempercepat pergerakan orang dan barang, menekan biaya logistik, serta memperluas akses pasar bagi pelaku UMKM dan dunia usaha lokal. Pada sektor pendidikan dan kesehatan, akses udara langsung menjadi faktor penting dalam mobilitas sumber daya manusia, rujukan layanan, dan respons cepat terhadap kebutuhan masyarakat.

Harapan tersebut sejalan dengan posisi Kabupaten Bungo sebagai wilayah terbesar kedua di Provinsi Jambi, khususnya di kawasan barat. Sebagai pusat aktivitas ekonomi dan layanan publik, Bungo tidak hanya melayani penduduknya sendiri, tetapi juga masyarakat dari kabupaten-kabupaten sekitar. Konektivitas udara yang kuat akan mempertegas fungsi tersebut sekaligus mendorong pemerataan pembangunan wilayah.

“Bandara tidak cukup hanya berdiri. Ia harus hidup, terhubung, dan memberi dampak ekonomi nyata bagi masyarakat. Konektivitas adalah kunci agar Bungo mampu menjalankan perannya sebagai pusat pertumbuhan wilayah,” ujar Dedy Putra.

Dengan dibukanya rute langsung Jakarta–Muara Bungo, waktu tempuh menjadi lebih singkat dan ketergantungan pada jalur darat dapat dikurangi. Efisiensi ini diharapkan mendorong peningkatan aktivitas ekonomi, mempercepat arus investasi, serta memperkuat daya saing daerah. Bandara Muara Bungo tidak lagi sekadar simbol keberhasilan masa lalu, tetapi menjadi pijakan strategis bagi masa depan pembangunan Kabupaten Bungo. (hab)