JAKARTA RAYA — Publik dihebohkan dengan kasus Arini Ruth Yuni br Siringoringo, pegawai Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Cilandak, Jakarta Selatan, yang diketahui berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) atas dugaan penganiayaan. Ketidaktegasan Kepala KPP Pratama Cilandak dalam menyikapi status hukum bawahannya itu memicu kecurigaan dan kemarahan publik.

Arini, bersama Erika br Siringoringo dan Nurintan br Nababan, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Medan sejak 4 Januari 2025. Ketiganya menjadi DPO sejak 14 April 2025 dalam kasus penganiayaan terhadap Doris Fenita br Marpaung dan Riris br Marpaung. Mereka disangkakan melanggar Pasal 170 jo 351 KUHP.

Yang memprihatinkan, menurut keterangan seorang pegawai KPP Pratama Cilandak yang enggan disebutkan namanya, sejak berakhirnya libur Lebaran hingga saat ini, Arini tidak pernah masuk kerja tanpa keterangan yang jelas. Tidak diketahui apakah ketidakhadirannya telah mendapat izin dari Kepala KPP atau merupakan tindakan indisipliner.

Padahal, sesuai Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN), status tersangka atau DPO dapat menjadi dasar pemberhentian sementara hingga pemberhentian tidak dengan hormat. Ketidakhadiran tanpa alasan yang sah selama 46 hari kerja atau lebih bahkan dapat dikenakan sanksi pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, atau pemberhentian tidak dengan hormat.

Ketentuan ini diatur dalam:

  • Pasal 87 Undang-Undang ASN, tentang pemberhentian PNS;
  • PP Nomor 94 Tahun 2021, tentang Disiplin PNS;
  • Pasal 24 Ayat 1 (b) UU Nomor 20 Tahun 2023, tentang ASN.

Ketidaktegasan Kepala KPP Pratama Cilandak dalam menindak Arini menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa seorang DPO dalam kasus pidana serius dibiarkan begitu saja? Apakah ada intervensi atau tekanan tertentu yang membuat pimpinan enggan mengambil tindakan disiplin?

Dugaan adanya pembiaran atau bahkan perlindungan terhadap Arini kian menguat di tengah masyarakat. Sikap ini tidak hanya mencerminkan lemahnya pengawasan internal, tetapi juga menjadi preseden buruk bagi penegakan disiplin di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

Situasi ini berpotensi merusak citra institusi perpajakan, melemahkan kepercayaan publik, dan memberi contoh negatif bagi pegawai pajak lainnya. Maka dari itu, kami mendesak:

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, untuk segera memberikan sanksi tegas terhadap Kepala KPP Pratama Cilandak atas kelalaiannya.

Kepala Kanwil DJP Jakarta, Irawan, untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pimpinan KPP tersebut.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani, agar kembali menegaskan pentingnya prinsip transparansi dan akuntabilitas di seluruh jajaran instansi perpajakan.

Kasus ini harus diusut tuntas dan tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa penanganan yang jelas. Penegakan hukum dan disiplin ASN harus ditegakkan demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi negara, khususnya di sektor yang sangat strategis seperti perpajakan. (sin)