JAKARTA RAYA– Penyusunan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional In-donesia (UU TNI) ditegaskan oleh pemerintah bahwa proses penyusunan telah berjalan transparan dan melibatkan ragam pemangku kepentingan strategis yang relevan dari berbagai sektor. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memastikan bahwa se-tiap tahapan legislasi berjalan sesuai mekanisme hukum yang berlaku dan memenuhi asas partisipasi bermakna.
Kepastian tersebut ditegaskan dalam sidang lanjutan uji formil terhadap UU TNI yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang tersebut menghadirkan sejumlah perwakilan dari pemerintah dan legislatif guna memberikan penjelasan resmi terkait proses penyusunan un-dang-undang yang merupakan pilar strategis dalam menjaga ketahanan dan stabilitas na-sional.
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pemerintah telah menjalankan seluruh proses penyusunan UU TNI sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
Ia menegaskan bahwa proses tersebut tidak hanya melibatkan institusi militer semata, tetapi juga mengundang partisipasi dari kementerian dan lembaga pemerintah lainnya, kalangan akademisi dari berbagai universitas, hingga organisasi masyarakat sipil.
“Sehingga memenuhi asas keterbukaan dan meaningful participation,” lanjut Supratman.
Dari pihak legislatif, Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menekankan bahwa keterlibatan berbagai elemen masyarakat dalam proses pembahasan UU TNI adalah bentuk nyata dari penerapan prinsip partisipatif dalam sistem demokrasi Indonesia.
“Prosesnya telah melalui sejumlah mekanisme hukum acara,” ujar Utut Adianto.
Ia menyampaikan bahwa DPR telah mempertimbangkan berbagai masukan dari forum kon-sultasi publik, serta memperhatikan dinamika sosial-politik dalam pembahasan RUU TNI. Dengan demikian, UU yang dihasilkan bukan hanya memiliki landasan hukum yang kuat, namun juga legitimasi publik yang tinggi.
Menanggapi adanya uji formil oleh sebagian kalangan akademisi dan masyarakat sipil, DPR menegaskan bahwa proses legislasi telah memenuhi kaidah konstitusional dan partisipatif, DPR menyatakan bahwa gugatan tersebut tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam konstitusi dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini karena taha-pan legislasi telah dilakukan secara prosedural, terbuka, dan terdokumentasi dengan baik.
“Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau paling tidak menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima,” tegas Utut.
Pernyataan pemerintah dan DPR tersebut menunjukkan bahwa pembentukan UU TNI tidak dilakukan secara terburu-buru ataupun tertutup. Sebaliknya, proses ini mencerminkan se-mangat deliberatif dengan melibatkan pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah dalam menjadikan legislasi sebagai ruang dialog antara negara dan masyarakat.
Ragam pemangku kepentingan yang dilibatkan mencakup institusi militer, akademisi dari fakultas hukum dan ilmu politik, pengamat pertahanan, praktisi HAM, organisasi sipil, hingga mahasiswa. Dengan pendekatan tersebut, penyusunan UU TNI mencerminkan prinsip good governance dalam pengelolaan sektor pertahanan negara.
Pemerintah juga memastikan bahwa hasil akhir dari UU TNI tetap menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil atas militer serta menjaga keseimbangan antara kepentingan pertahanan negara dan hak-hak konstitusional warga negara.
Keterlibatan publik tidak berhenti pada tahap penyusunan, namun juga akan dilanjutkan pada tahap evaluasi implementasi UU di kemudian hari. Dalam hal ini, DPR dan pemerintah ter-buka terhadap evaluasi dan usulan kebijakan sepanjang sesuai dengan semangat demokrasi dan kepentingan nasional.
Dengan demikian, penyusunan UU TNI menjadi contoh legislasi yang baik di Indonesia, yang mengedepankan transparansi, inklusivitas, serta akuntabilitas publik.
Tinggalkan Balasan