Oleh: Dahlan Muhammad
Pernyataan Pak Erick Thohir (ET) bahwa olahraga harus menjadi industri adalah arah berpikir yang strategis. Sepak bola kini bukan sekadar tontonan, tetapi sebuah ekosistem ekonomi yang bergerak dari lapangan hingga industri kreatif dan investasi. Ketika sepak bola menjadi industri, profesionalisme tidak lagi menjadi pilihan, ia adalah tuntutan mutlak yang melekat dalam diri setiap pemain, pelatih, dan pengelola organisasi.
Saya melihat PSSI saat ini sudah bergerak ke jalur yang tepat untuk membangun industri olahraga yang sesungguhnya. Kekalahan dalam pertandingan tentu wajar dalam sepak bola, tetapi kekalahan akibat kesalahan manajemen adalah persoalan yang tidak bisa diabaikan. Di sinilah pentingnya memahami bahwa industri membutuhkan tata kelola yang rapi, disiplin waktu, dan manajemen tim yang solid, bukan sekadar semangat bertanding.
Manajemen Pemain Luar Negeri: Tantangan yang Tidak Boleh Diremehkan
Banyak pemain timnas kita saat ini berkarier di luar negeri. Secara regulasi, kalender FIFA memang memungkinkan mereka dipanggil saat jeda internasional, selama tidak cedera. Tapi realitas di lapangan mengungkap masalah lain:
- Para pemain datang dengan waktu kedatangan yang berbeda-beda,
- Mereka membawa atmosfer klub yang berbeda,
- Ritme permainan mereka tidak seragam,
- Adaptasi terhadap lawan maupun cuaca menjadi tidak merata.
Ketidakhadiran secara bersamaan ini adalah isu manajemen organisasi yang harus dibereskan oleh PSSI. Jika kita berbicara industri, maka koordinasi, pemanggilan, dan integrasi pemain menjadi hal yang tidak boleh setengah-setengah.
Naturalisasi Itu Strategis, Tapi Tidak Instan
Kebijakan naturalisasi yang dijalankan PSSI adalah langkah strategis dan menjadi inspirasi bagi negara lain. Bahkan Malaysia mencoba meniru, meski dengan pendekatan yang keliru. Namun perlu digarisbawahi:
Pemain naturalisasi bukan hanya datang untuk bertanding, mereka harus dibangun naluri timnya.
Persiapan adalah kata sederhana, tetapi pelaksanaannya sangat kompleks. Setiap pemain memiliki pola persiapan berbeda, tetapi yang paling penting adalah terbentuknya insting kolektif. Hal ini tidak bisa lahir dalam hitungan hari. Naluri bermain, sense of timing, dan ritme kolektif hanya bisa terbangun melalui waktu persiapan yang memadai.
Pada Round 4 Kualifikasi Piala Dunia di Arab Saudi, para pemain naturalisasi datang dengan waktu kedatangan yang berbeda, dan sebagian masih terbiasa dengan atmosfer klubnya masing-masing selama beberapa bulan terakhir. Tanpa waktu adaptasi yang cukup, suasana tim sulit terbentuk secara utuh.
Jangan sampai terjadi pepatah yang pahit:
“We are part of the team but not part of the game.”
Jika hal ini muncul, penyebabnya hampir bisa dipastikan karena minimnya waktu persiapan.
Faktor Eksternal yang Tidak Bisa Diabaikan
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap faktor luar lapangan.
Ada kejadian suporter yang ditahan masuk saat wasit berkualitas baik memimpin pertandingan, tetapi esoknya pertandingan justru dipimpin wasit lain dengan keputusan yang penuh tanda tanya. Pesannya jelas: ada pihak yang tidak menginginkan Indonesia lolos.
Selain itu, negara seperti Arab Saudi dan Iran melakukan pemusatan latihan jauh lebih lama dibanding Indonesia. Maka, kekalahan tipis yang kita alami seharusnya bukan alasan putus asa, melainkan indikasi positif bahwa kualitas sepak bola kita sudah jauh berkembang.
Kesimpulan: Persiapan Panjang, Naluri Kolektif, dan Ketahanan Mental
Jika kita gabungkan dua indikator utama yakni minimnya persiapan dan tekanan eksternal, maka kesimpulannya tegas:
PSSI harus memprioritaskan waktu persiapan tim secara serius.
Insting, naluri kebersamaan, sense of unity, dan irama permainan hanya bisa dibangun melalui kebersamaan yang cukup. Bukan sekadar datang, bertanding, lalu pulang.
Sepak bola bukan sekadar taktik dan fisik. Ia juga soal atmosfer, naluri kolektif, dan kebanggaan yang harus berdentum bersama dalam satu hentakan:
irama Tanah Airku di dada setiap pemain. (***)
Tinggalkan Balasan