Oleh: Mohamad Fuad
JAKARTA RAYA — Qonun Asasi Nahdlatul Ulama (NU), yang ditulis oleh pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari, selama ini dipandang sebagian pihak sebagai teks keagamaan biasa. Namun, dalam tinjauan sejarah, naskah ini menyimpan fondasi ideologis penting dalam menghadapi kolonialisme dan membentuk karakter gerakan Islam Nusantara.
Pada awal abad ke-20, dunia Islam tengah berada dalam tekanan besar akibat serbuan modernitas dan kolonialisme. Berbagai pemikiran keislaman berkembang dalam bentuk yang beragam: dari konservatif hingga modernis, dari Islam politik hingga politik Islam. Di tengah arus pemikiran itu, Indonesia mulai menggeliat menuju cita-cita kemerdekaan, ditandai dengan lahirnya organisasi-organisasi politik sejak tahun 1903.
Dalam konteks ini, Qonun Asasi NU hadir sebagai dokumen konstitusional dasar bagi NU. Ia berfungsi bukan hanya sebagai panduan keorganisasian, tetapi juga sebagai fondasi nilai yang dijalankan oleh para kader NU di masyarakat. Karakter kader NU yang dibangun melalui Qonun Asasi mencakup:
- Kader Ulama: Fokus pada keilmuan agama dan spiritualitas Islam.
- Kader Aktivis: Berkiprah dalam bidang sosial, politik, ekonomi, lingkungan, hingga birokrasi.
- Kader Intelektual: Aktif dalam bidang akademik, teknologi, dan pemikiran kontemporer.
Dari Qonun Asasi ke Resolusi Jihad
Salah satu momen paling monumental dari peran politik NU adalah fatwa Resolusi Jihad pada Oktober 1945. KH Hasyim Asy’ari menyerukan perlawanan terhadap pasukan Sekutu yang ingin kembali menjajah Indonesia. Seruan ini dikenal luas dengan semangat “Hubbul Wathan Minal Iman” — cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Fatwa tersebut bukan tindakan spontan, tetapi kelanjutan logis dari pemikiran dalam Qonun Asasi. Alih-alih menempuh jalan ideologis ekstrem, NU mengambil pendekatan diplomatis dan kolektif. Mbah Hasyim tidak membentuk partai berbasis agama secara eksklusif, namun memilih strategi politik kebangsaan, dengan membangun aliansi bersama tokoh-tokoh nasionalis seperti Bung Karno.
Reformasi dan Lahirnya Mabda Siyasi PKB
Pasca kemerdekaan, NU sempat mengalami fase kontemplatif dengan kembalinya ulama ke pesantren. Jika saat itu NU mengambil jalur revolusi Islam ala wilayat al-faqih, bisa jadi sejarah politik Indonesia akan berbeda.
Pada era Orde Baru, NU terpecah ke dalam dua kutub: pendukung pemerintah dan oposisi. Namun setelah reformasi 1998, struktur sosial politik Indonesia berubah secara signifikan. Dalam konteks ini, para intelektual dan aktivis NU merumuskan pendekatan politik baru yang kemudian dikenal dengan Mabda Siyasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Mabda Siyasi PKB hadir sebagai pengejawantahan nilai-nilai Islam Nusantara yang inklusif dan rahmatan lil ‘alamin. Prinsip ini tidak hanya menegaskan komitmen terhadap demokrasi dan kebangsaan, tetapi juga merawat warisan spiritual dan intelektual para ulama NU terdahulu. (***)
Tinggalkan Balasan