Mohamad Fuad Direktur PUSKAS

Dalam berbagai ruang formal dan budaya organisasi, kita kerap menjumpai istilah “penjilat” yang secara umum memiliki konotasi negatif. Istilah ini merujuk pada individu atau kelompok yang mengedepankan kepentingan pribadi atau golongan, sering kali dengan cara yang tidak etis, demi meraih keuntungan tertentu, terutama dalam struktur kekuasaan atau birokrasi.

Fenomena ini kini berkembang menjadi apa yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai model kepemimpinan berbasis kepentingan pribadi atau loyalitas semu. Model kepemimpinan ini tidak berdiri sendiri, melainkan muncul akibat adanya ambisi kekuasaan yang dibarengi dengan kebiasaan yang terpelihara dalam berbagai jenjang organisasi—baik di ranah profesional, birokrasi negara, maupun organisasi sosial dan politik.

Model kepemimpinan semacam ini bersifat dua arah: antara atasan dan bawahan terdapat relasi timbal balik yang dilandasi motivasi mempertahankan jabatan dan posisi. Kondisi ini pada akhirnya berdampak negatif terhadap integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas lembaga. Ketika relasi kuasa dibangun atas dasar kepentingan pribadi, sistem organisasi menjadi tidak sehat dan rawan mengalami disorientasi tujuan.

Faktor Penyebab

Beberapa faktor yang turut mendorong suburnya praktik kepemimpinan yang tidak sehat ini antara lain:

1. Psikologis:

Kebutuhan akan pengakuan, perhatian, dan stabilitas jabatan sering kali membuat seorang pemimpin lebih mengutamakan loyalitas pribadi dibandingkan kualitas dan profesionalisme. Ketidakpercayaan diri juga menjadi salah satu pemicu munculnya praktik ini.

2. Sosial:

Tekanan sosial untuk meraih status atau pencapaian tertentu, terutama dalam lingkungan yang menekankan hierarki dan budaya patronase, turut melanggengkan praktik ini. Dalam beberapa konteks, warisan budaya feodal juga memperkuat relasi kekuasaan yang tidak egaliter.

3. Ekonomi:

Kepentingan akan keuntungan materi, baik jangka pendek maupun jangka panjang, membuat sebagian individu atau kelompok menjalin relasi kuasa yang transaksional demi memperoleh akses ekonomi tertentu.

4. Lingkungan Organisasi:

Lingkungan kerja yang tidak sehat dan minim akuntabilitas menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kepemimpinan yang menonjolkan loyalitas semu. Ketidakpercayaan terhadap data dan informasi yang objektif pun menjadi gejala yang umum ditemukan.

Indikator Model Kepemimpinan Tidak Sehat

Beberapa ciri utama dari model kepemimpinan ini antara lain:

  • Mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan lembaga atau publik.
  • Menjadikan kekuasaan sebagai tujuan utama demi mendapatkan status, kehormatan, atau materi.
  • Mengandalkan kelompok loyalis sebagai sumber informasi utama, yang mengakibatkan keputusan tidak berbasis data dan analisis objektif.
  • Lebih menghargai loyalitas dibandingkan kompetensi atau profesionalisme.
  • Tidak terbuka terhadap kritik dan cenderung represif terhadap perbedaan pendapat.
  • Fokus pada pencitraan dan penampilan ketimbang substansi dan kualitas kerja.
  • Menggunakan propaganda sebagai alat untuk membangun legitimasi diri atau kelompok.

Penutup

Model kepemimpinan yang menomorsatukan loyalitas semu dan kepentingan pribadi tidak hanya merusak etika birokrasi dan profesionalisme, tetapi juga dapat membahayakan keberlangsungan organisasi dan kepercayaan publik. Maka penting bagi setiap organisasi dan institusi untuk menegakkan prinsip transparansi, akuntabilitas, serta mendorong budaya meritokrasi sebagai landasan utama dalam membangun kepemimpinan yang sehat dan berintegritas. (hab)