JAKARTA RAYA – Kasus dugaan kriminalisasi anggota Polda Kalimantan Tengah semakin memanas. Kini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yulianti, SH dilaporkan ke Komisi Yudisial Republik Indonesia, lantaran tidak profesional dalam menangani dugaan kasus menjebak Fathurrahman.
Dalam sebuah surat yang disampaikan kepada Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia, Bapak Prof. Amzulian Rifai, S.H., LL.M., Ph.D., keluarga besar al-marhum H. Muhammad Said Yusuf, melalui Prof. DR. Muhammad M Said, melaporkan dugaan kriminalisasi terhadap Brigpol Fathurrahman, salah satu putra dari keluarga tersebut.
Fathurrahman, yang saat ini menjabat sebagai anggota kepolisian, dituduh dalam kasus narkoba yang diduga merupakan rekayasa oleh oknum-oknum penegak hukum.
Menurut kronologi yang disampaikan dalam surat tersebut, pada tanggal 5 Juni 2024, Fathurrahman diduga dijebak dalam sebuah operasi narkoba yang melibatkan oknum anggota Polda Kalimantan Tengah, termasuk inisial DK dan AS. Dalam operasi tersebut, barang bukti narkoba diduga sengaja disembunyikan untuk menjebak Fathurrahman.
Kemudian Brigpol Fathurahman ditangkap dan diinterogasi, serta ditahan tanpa prosedur yang adil dan wajar, sedangkan pihak yang terlibat dalam pembelian dan kepemilikan barang TW, RD, H dan JA tidak tersentuh hukum sama sekali sejak dari awal penangkapan Fathurrahman hingga saat ini.
Mereka diduga pihak yang memang dilindungi oleh oknum-oknum penyidik dari resnarkoba Polda Kalteng hingga kasus ini dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri Palangkaraya.
Kasus ini semakin mencuat saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yuliati, S.H., M.H yang menangani perkara tersebut. Dia diduga terlibat dalam permainan hukum yang tidak professional, mengabaikan hak azasi anak bangsa dan menciderai demokrasi.
“Dalam laporan yang disampaikan, Sdri. Yuliati dikatakan dengan bangga menyebut bahwa Fathurrahman adalah “kasus titipan” dari Polda Kalimantan Tengah dan bahkan menawarkan pengurangan hukuman dengan imbalan sejumlah uang. Dugaan tersebut menambah panjang daftar kejanggalan dalam proses hukum yang dijalani oleh Fathurrahman,” kata Muhammad M Said, melalui keterangannya, Minggu (27/4/2025).
Terkait dengan hal ini, pihak keluarga menyampaikan keberatannya atas perlakuan JPU, Yuliati, yang diduga sengaja mengabaikan bukti dan fakta persidangan yang menguntungkan Fathurrahman.
Salah satunya adalah peran pihak-pihak lain, seperti RD dan Brigpol TW, yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba, namun tidak pernah dijadikan tersangka.
Di sisi lain, keluarga Fathurrahman mengklaim bahwa proses hukum yang dijalani oleh Brigpol Fathur penuh dengan penyimpangan, termasuk pengabaian terhadap fakta-fakta yang jelas di persidangan.
Meskipun majelis hakim pertama menyebut adanya pelaku lain dalam perkara ini, namun Fathurrahman tetap dijatuhi vonis yang berat, yakni 9 tahun penjara.
“Kami meyakini bahwa Fathurrahman merupakan korban dari rekayasa hukum, telah mengajukan memori banding kepada Mahkamah Agung. Kami juga berharap agar keadilan dapat ditegakkan, bukan hanya untuk Fathurrahman, tetapi juga untuk keadilan hukum yang lebih luas, bagi seluruh anak bangsa yang mencari keadilan,” harapnya.
Dalam suratnya, keluarga juga mengajukan permohonan kepada Komisi Yudisial untuk menyelidiki tindakan tidak profesionalnya JPU, Yuliati, S.H., M.H. Keluarga Fathurahman juga meninga agar oknum JPU tersebut diberhentikan dari jabatannya.
Mereka menekankan pentingnya tindakan tegas dari Lembaga terkait agar oknum tidak sewenang-wenang menggunakan jabatan dan kekuasaan untuk menghukukm anak bangsa sesuai selera subjektif, dan kasus serupa tidak terulang di masa depan.
Surat permohonan itu juga telah dilaporkan kepada beberapa lembaga lainnya, termasuk Ketua DPR RI, Komisi III DPR RI, Menko Polkam RI, Ombudsman RI, serta Mabes Polri.
Keluarga besar Fathurrahman berharap agar proses hukum yang adil dapat segera terwujud, dan keadilan yang seharusnya menjadi dasar utama dalam penegakan hukum dapat ditegakkan tanpa pandang bulu.
Sementara, Kuasa Hukum Brigpol Fathurrahman, Rusdi Agus Susanto, SH menilai ada dugaan pelanggaran hukum dan kode etik oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam penanganan perkara yang menimpa kliennya itu ditnuntut perhatian serius.
Menurutnya, kronologi kasus menunjukkan adanya dua dugaan pelanggaran utama yang berpotensi menghambat pengungkapan kebenaran dan keadilan.
Pertama, pengabaian permohonan saksi meringankan. Pada 29 Agustus 2024, terdakwa mengajukan permohonan kepada Kasi Narkotika Kejaksaan Tinggi, Yulianti untuk menghadirkan Laipai Surbakti alias Bobi sebagai saksi meringankan.
Permohonan ini bertujuan melengkapi fakta persidangan dan memperjuangkan keadilan bagi terdakwa, mengingat keterlibatan Bobi dalam pengiriman sabu yang dituduhkan kepada terdakwa.
“Anehnya, permohonan ini diabaikan oleh Kasi Narkotika Kejaksaan Tinggi dan Ditresnarkoba Polda Kalteng. Hanya enam hari kemudian (5 September 2024), berkas perkara dilimpahkan ke JPU tanpa mempertimbangkan permohonan tersebut,” kata Rusdi.
Padahal sesuai prosedur, JPU seharusnya menerbitkan petunjuk (P-19) kepada penyidik untuk memeriksa saksi yang diajukan terdakwa sebelum pelimpahan berkas. Pengabaian ini diduga melanggar prosedur hukum dan kode etik profesi JPU.
Kedua, ketidaklengkapan pemeriksaan terdakwa dan bukti keterlibatan pihak lain. Selama 87 hari penahanan, terdakwa hanya diperiksa sekali sebagai tersangka.
Nurani kemanusiaan untuk mengegakkan hukum yang berkeadilan diabaikan tanpa rasa bersalah bahwa perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan hakim yang seadil-adilnya di kemudin hari. JPU seharusnya meminta penyidik melakukan pemeriksaan tambahan untuk mengungkap keterlibatan RD, H, dan JA, yang berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terdakwa dan bukti chat, terindikasi kuat terlibat dalam kasus ini.
“Meskipun mereka telah diperiksa sebagai saksi, mereka membantah keterlibatan. Ketidaklengkapan pemeriksaan ini berpotensi mengaburkan kebenaran dan menghambat tercapainya keadilan,” ungkap Rusdi.
Lebih lanjut, kedua dugaan pelanggaran tersebut, kata Rusdi, menunjukkan adanya potensi pelanggaran hukum dan kode etik profesi yang serius oleh JPU.
“Oleh karena itu, kami mendesak dilakukannya penyelidikan dan pemeriksaan independen untuk memastikan terselenggaranya keadilan bagi terdakwa dan penegakan integritas penegakan hukum di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum mutlak diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan