JAKARTA RAYA — Kenaikan tarif air PAM Jaya hingga mencapai 100 persen menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Aktivis sosial Taufik Hidayat, yang akrab disapa Tope, menyebut kebijakan tersebut sebagai bentuk pengkhianatan terhadap prinsip pelayanan publik yang seharusnya berpihak kepada masyarakat kecil.

“Air bersih kini menjadi kemewahan di negeri sendiri. Air jernih hanya mengalir deras ke gedung-gedung bertingkat, sementara warga di perkampungan harus rela menerima air keruh dengan tarif yang mencekik,” ujar Tope, Jumat (31/10/2025).

Menurutnya, kebijakan kenaikan tarif yang dilakukan PAM Jaya tidak disertai dengan transparansi penggunaan dana maupun peningkatan kualitas layanan kepada pelanggan.

“Rakyat dipaksa membayar dua kali: pertama lewat pajak, kedua melalui tarif air yang melonjak. Ini bukan pelayanan publik, tapi bentuk komersialisasi atas kebutuhan dasar,” tegasnya.

Tope juga menyoroti lemahnya peran Dewan Pengawas (Dewas) PAM Jaya yang dianggap tidak menjalankan fungsi kontrol dengan baik.

“Sudah menjadi rahasia umum, fungsi dewas bukan untuk mengawasi, melainkan memperkuat gurita bisnis di tubuh BUMD,” ujarnya.

Lebih lanjut, Tope menilai Direktur Utama PAM Jaya telah gagal menjaga keadilan sosial dalam pengelolaan air bersih di Ibu Kota.

“Dirutnya mungkin sibuk mandi di luar negeri, sementara rakyat Jakarta antre air keruh di rumah sendiri,” sindirnya.

Ia pun mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama DPRD DKI Jakarta untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap kebijakan dan kinerja PAM Jaya.

“Air bukan komoditas bisnis. Ini hak hidup rakyat. Jika pemerintah tidak mampu mengelola air secara adil dan transparan, berarti mereka telah gagal menjalankan amanat konstitusi,” pungkas Tope. (hab)