JAKARTA RAYA – Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Fahri, meminta The HUD Institute lebih tegas dalam mengadvokasi kepentingan masyarakat terkait kebijakan perumahan dan permukiman yang dijalankan pemerintah.
“Saya melihat HUD ini kurang keras bersuara. Program Kementerian PKP harus lebih kritis dikawal. Penataan kebijakan perumahan tidak boleh hanya berhenti pada angka backlog, tapi harus menyentuh akar persoalan: kemiskinan, lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Fahri dalam konferensi pers peringatan Hari Perumahan Nasional di Tangerang Selatan, Senin (25/8).
Data Tunggal Jadi Fondasi
Fahri menekankan pentingnya kebijakan berbasis data tunggal yang akurat. Melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), pemerintah berupaya menyamakan basis data agar intervensi tepat sasaran.
“Kalau data kita berbeda-beda, keputusan pun tidak sinkron dan program bisa salah sasaran. Karena itu, kebijakan harus berbasis data by name by address,” jelasnya.
Ia juga menyoroti fenomena double backlog, di mana sekitar 6 juta keluarga masih tinggal di rumah tidak layak sekaligus belum memiliki rumah sendiri. “Inilah yang seharusnya menjadi prioritas public policy kita,” tambah Fahri.
Tiga Fokus Pembangunan: Desa, Kota, dan Pesisir
Menurut Fahri, janji Presiden terkait pembangunan 3 juta rumah terbagi dalam tiga fokus besar:
- Perdesaan: Mayoritas sudah memiliki tanah dan rumah, namun kondisinya tidak layak. Solusi diarahkan pada renovasi.
- Perkotaan: Keterbatasan lahan menuntut pembangunan perumahan vertikal, dengan model HDB Singapura sebagai inspirasi.
- Pesisir & kawasan kumuh: Tanah negara di bantaran sungai dan pesisir bisa dimanfaatkan untuk rumah layak sekaligus penataan kawasan.
“Kalau tanahnya dari negara, harga rumah bisa ditekan hingga 50%. Ini kunci menghadirkan hunian terjangkau,” jelasnya.
Butuh Off-taker Perumahan Rakyat
Selain data tunggal, Fahri menekankan pentingnya lembaga off-taker sebagai penjamin pasar perumahan rakyat. Dengan adanya off-taker di bawah kendali pemerintah, pengembang tidak perlu khawatir soal pemasaran, sementara masyarakat berpenghasilan rendah mendapat akses lebih mudah ke hunian.
“Selama ini kita terlalu fokus pada pembiayaan lewat skema swasta. Padahal yang lebih mendasar adalah data dan off-taker. Kalau dua ini kuat, pembiayaan akan mengikuti,” pungkasnya. (hab)
Tinggalkan Balasan