JAKARTA RAYA— Ratusan massa dari organisasi Mahasiswa Pengawas Peradilan Bersih (Mapras) menggelar aksi demonstrasi di kantor Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) di Jakarta, Selasa (30/9/2025). Aksi tersebut menyoroti dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim oleh Majelis Hakim dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) Irfan Suryanagara.
Mereka menilai putusan PK Nomor 97 PK/Pid/2024 yang diketuai oleh Prof. Sunarto—yang juga menjabat sebagai Ketua MA—bersama hakim anggota Yohanes Priyana dan Prim Haryadi, sarat kejanggalan.
Ketua Umum Mapras, Rahbar Ayatullah Khomeini, menyatakan bahwa putusan tersebut mencederai rasa keadilan publik. Sebelumnya, Mahkamah Agung melalui putusan kasasi menjatuhkan vonis 10 tahun penjara dan denda Rp2 miliar kepada Irfan Suryanagara atas pelanggaran Pasal 372 KUHP jo Pasal 3 UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam kasus penipuan dan pencucian uang bisnis SPBU.
Namun dalam putusan PK terbarunya, Irfan hanya dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dengan hanya menerapkan Pasal 372 KUHP, tanpa mencantumkan unsur TPPU.
“Keputusan ini sangat janggal, apalagi sebelumnya Irfan disebut telah mengakui keterlibatannya dalam tindak pidana pencucian uang,” tegas Rahbar dalam keterangan tertulis.
Diketahui, Irfan telah bebas bersyarat pada awal 2025.
Mapras menilai Majelis Hakim PK mengabaikan ketentuan Pasal 10 Pedoman Etika Profesi Hakim yang mewajibkan hakim menjunjung profesionalisme dan tidak mengabaikan fakta-fakta yang memberatkan terdakwa.
“Pasal 10.4 secara tegas melarang hakim membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa secara keliru. Dalam kasus ini, kami melihat ada penyimpangan terhadap prinsip tersebut,” lanjut Rahbar.
Ia juga menyinggung potensi konflik kepentingan, mengingat adik kandung Irfan, Andhika Rahman, pernah menjabat sebagai Kasubag Kepegawaian di Mahkamah Agung, yang dinilai dapat memengaruhi independensi proses peradilan.
Rahbar menegaskan bahwa putusan ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi.
“Korban mengalami kerugian besar. Bahkan istri pelaku kini tengah mengajukan PK kedua, sementara perkaranya belum benar-benar tuntas. Ini menyakitkan bagi para pencari keadilan,” ujarnya.
Mapras mendesak Komisi Yudisial, Ketua DPR RI Puan Maharani, serta Wakil Ketua DPR RI Bidang Hukum Sufmi Dasco Ahmad untuk segera melakukan pemeriksaan atas dugaan pelanggaran tersebut. Mereka juga meminta hakim yang terlibat untuk diberi sanksi.
“Kami mendesak DPR RI menggunakan kewenangannya untuk mencopot pejabat yang terbukti melanggar hukum, serta membatalkan Putusan PK Irfan Suryanagara dan memberlakukan kembali Putusan Kasasi Nomor 565 K/Pid/2023 yang sudah berkekuatan hukum tetap,” tutup Rahbar. (ema)
Tinggalkan Balasan