JAKARTA RAYA — Inkonsistensi kebijakan dan lemahnya dukungan negara terhadap pengembangan sumber daya manusia (SDM) dinilai menjadi akar persoalan yang menjerat sektor jasa konstruksi di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Acep Sopandi, Pengurus Ikatan Keluarga Alumni Teknik Sipil (IKATSI) sekaligus pelaku usaha konsultan di bidang perencanaan dan pengawasan konstruksi.
Acep menyoroti tumpang tindih antara Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang memberi ruang besar bagi pemerintah daerah, dengan Peraturan Menteri PUPR Nomor 9 Tahun 2020 yang cenderung sentralistik. “Ini bukan hanya soal teknis, tapi cerminan masalah sistemik. Kebijakan yang tidak sinkron dan tidak peka terhadap konteks lokal menjadi batu sandungan besar dalam pembangunan nasional,” ujar Acep.
Ia menegaskan bahwa lemahnya dukungan finansial untuk proses sertifikasi tenaga kerja juga menunjukkan ketidaksungguhan negara dalam meningkatkan kualitas SDM konstruksi. “Sertifikasi adalah kunci daya saing. Tapi kalau negara sendiri tak hadir mendukung, bagaimana kita bisa bicara kompetensi?” tambahnya.
Tak hanya itu, Acep menilai ketidakhadiran negara dalam menjamin administrasi dasar, seperti penerbitan sertifikat usaha atau tenaga kerja, telah berdampak luas. Gangguan proyek akibat hal tersebut, menurutnya, adalah kegagalan negara melindungi pelaku usaha. “LPJK dan Kementerian PUPR seharusnya menjadi benteng, bukan justru menjadi bagian dari masalah,” katanya.
Ia juga mengkritik pelemahan peran asosiasi jasa konstruksi akibat kebijakan yang tidak sejalan dengan kebutuhan di lapangan. “Asosiasi kehilangan daya representasi. Ini gejala mundurnya demokrasi teknokratik kita,” jelas Acep.
Dalam konteks moral dan etika, Acep menyebut ilustrasi proyek jembatan darurat hingga kasus dugaan korupsi di Tol MBZ sebagai simbol kerapuhan etika bangsa. “Di balik beton dan aspal yang megah, ada keropos moral yang tak boleh diabaikan,” ucapnya.
Acep menyimpulkan bahwa masalah LPJK adalah refleksi dari persoalan struktural bangsa—mulai dari inkonsistensi regulasi, lemahnya sistem perlindungan usaha, hingga kemunduran nilai-nilai moral dalam birokrasi.
“Yang dibutuhkan saat ini adalah kepemimpinan yang bijak, paham regulasi, dan berani membenahi dari akar. Kalau tidak, sektor konstruksi akan kehilangan daya saing dan kepercayaan rakyat terhadap negara akan makin runtuh,” pungkasnya. (hab)
Tinggalkan Balasan