Oleh: Ir. Effendi Sianipar, MM.MSI

JAKARTA RAYA – Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri PUPR No. 9 Tahun 2020. Kata pengembangan dalam konteks kelembagaan biasanya merujuk pada upaya riset, investigasi, atau survei dalam rangka memajukan bidang terkait—inilah yang diharapkan dari LPJK dalam ranah jasa konstruksi.

Dari dokumen yang termuat di laman resmi Kementerian PUPR, dijelaskan bahwa LPJK menjalankan tugas dan fungsi di bidang jasa konstruksi sesuai amanat Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.

Tugas LPJK dijabarkan melalui enam kata kerja utama: mengembangkan, menyelenggarakan, memberikan, mengumpulkan, menjamin, dan membuat. Semua kata kerja tersebut mengarah pada pencapaian cita-cita UU No. 2 Tahun 2017 yang berpijak pada UUD 1945. Namun, dari semua fungsi tersebut, yang jarang terdengar adalah pengembangan sistem permodalan, sistem rantai pasok, serta dukungan pembiayaan terhadap penyelenggaraan sertifikasi kompetensi kerja. Yang lebih sering terlihat adalah kegiatan seperti sosialisasi peraturan, penerbitan SBU, SKK, SKT, serta pelatihan-pelatihan oleh asosiasi jasa konstruksi yang umumnya dibiayai oleh peserta dan disokong oleh asosiasi tersebut.

Mengenai pembiayaan, terdapat paradoks yang tertuang dalam Pasal 5 Ayat 7 UU No. 2 Tahun 2017, yang menyatakan bahwa: “Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d (yaitu untuk sertifikasi kompetensi kerja) dilakukan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.” Artinya, negara memaklumi jika program ini tidak berjalan optimal—hingga pernah terjadi situasi di mana pengurus LPJK belum menerima gaji.

Terkait hirarki organisasi, UU No. 2 Tahun 2017 Pasal 7 menjelaskan kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam sub-urusan jasa konstruksi, meliputi:

a. Penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi;

b. Penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi pada cakupan daerah provinsi.

Sementara itu, Pasal 8 menjelaskan kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang meliputi:

a. Penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi;

b. Penyelenggaraan sistem informasi jasa konstruksi di wilayah kabupaten/kota;

c. Penerbitan izin usaha nasional kualifikasi kecil, menengah, dan besar;

d. Pengawasan terhadap tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib pemanfaatan jasa konstruksi.

Dari Pasal 7 dan 8 ini terlihat bahwa UU No. 2 Tahun 2017 memberi ruang bagi daerah untuk berperan.

Namun, jika dikaitkan dengan Permen PUPR No. 9 Tahun 2020, seolah-olah aturan tersebut mengabaikan potensi dan kapasitas sumber daya daerah—padahal otonomi daerah juga harus diperhitungkan.

Inilah yang menyebabkan inkonsistensi dalam pelaksanaan amanat UU, yang pada akhirnya membuat banyak asosiasi jasa konstruksi seakan mengalami mati suri.

Di tengah luasnya jangkauan wilayah Indonesia, LPJK membutuhkan kepemimpinan yang andal. Maka, saat memilih tujuh orang pengurus, panitia seleksi melakukan langkah taktis dan strategis—hingga menghasilkan laporan yang kemudian diuji kelayakan dan kepatutannya oleh DPR, tepatnya pada 7 Desember 2020, untuk masa bakti hingga 23 Desember 2024.

Namun, dalam praktiknya, sempat terjadi gangguan proyek konstruksi karena tidak adanya SBU dan SKK yang valid. Proyek-proyek tertunda atau bahkan dihentikan karena tidak memenuhi persyaratan legal dan administratif. Sayangnya, dalam situasi tersebut, negara—dalam hal ini Kementerian PUPR dan LPJK—tidak hadir untuk melindungi para pengusaha, yang pada akhirnya menurunkan tingkat kepercayaan terhadap LPJK.

Di sisi lain, LPJK juga telah melakukan berbagai perbaikan, seperti penertiban tenaga kerja konstruksi. Tapi masih banyak hal yang belum menyentuh harapan pelaku usaha, misalnya: belum jelasnya sistem rantai pasok material, sistem permodalan yang tidak terasa manfaatnya, dan lambatnya proses administrasi perusahaan.

Sebuah ilustrasi:

Ada seorang sopir yang setiap hari harus melewati jembatan darurat di malam hari. Dua hansip berjaga dengan lampu senter sebagai penunjuk jalan. Sang sopir berjudi dengan nasibnya, tapi akhirnya percaya bahwa masih ada orang yang bekerja di tengah malam demi keselamatan. Ia pun menyanyikan lagu:

“Indonesia adalah tanah yang mulia,” meski sadar banyak yang tidak mulia di sekitarnya.

Tanah yang mulia itu kini dibangun tol—Tol MBZ—yang diberi nama seorang tokoh terhormat. Namun pembangunannya dikorupsi sebesar Rp550 miliar, meski para pelaksana telah menandatangani fakta integritas anti-suap. Ironisnya, proyek ini melibatkan BUMN dan konsultan anggota INKINDO yang semuanya dibina oleh LPJK. Lalu apa kata MBZ? Di mana suara para pemangku jabatan jasa konstruksi? Jawabannya: “Itu hanya oknum.”

Dari cerita di atas, kepemimpinan disektor Jasa Konstruksi dan lebih khusus pd LPJK membutuhkan kebijaksanaan, dgn pemahaman mendalam atas UU Otonomi Daerah dan UU Jasa Konstruksi, serta kejelian membaca realitas lapangan, dan Asosiasi jasa konstruksi semakin kehilangan daya, padahal LPJK sendiri ada karena keberadaan asosiasi.

Maka, untuk membenahi dunia konstruksi yang kusut, LPJK harus berani bersikap konsisten—bahkan terhadap dirinya sendiri. Tanpa pandang bulu, baik terhadap BUMN maupun pengusaha besar, LPJK harus tegas menyatakan dan menindak pelanggaran. Dan hanya dengan menghancurkan “racun inkonsistensi kebijakan”,dunia jasa konstruksi Indonesia penyerap tenaga kerja yg banyak bisa kembali berjaya bersama asosiasi yang kuat. (***)