Penulis: Sugiyanto pengamat kebijakan publik

 

JAKARTA RAYA– Kemarin, Senin, 30 Juni 2025, saya mendapat informasi mengenai sebuah unggahan pemberitaan tentang Beathor Suryadi yang beredar di grup WhatsApp para aktivis Jakarta dan daerah lainnya.

Setelah saya cek, ternyata benar—ada sebuah unggahan berita berjudul “Beathor Suryadi: Mundurkan Gibran, Bukan Makzulkan!” Judul tersebut langsung memicu ketertarikan saya untuk menulis artikel dengan topik yang mengangkat judul sebagaimana tertera diatas.

Sebagaimana diketahui, nama Beathor Suryadi, seorang politikus senior dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), belakangan ini menjadi perbincangan hangat di berbagai kalangan. Pernyataannya yang mempertanyakan keabsahan dokumen pendidikan Presiden Joko Widodo saat pencalonannya sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2012 mendapat sorotan tajam dari publik, media, hingga para pengamat politik.

Popularitas Beathor meningkat drastis, seolah mencuat secara tiba-tiba dan menerangi ruang diskusi publik layaknya cahaya meteor di langit malam. Kini, ia menjadi figur yang kerap tampil di berbagai kanal YouTube dan platform media lainnya. Beathor hadir dalam berbagai podcast, wawancara, serta diskusi politik yang mengangkat isu kredibilitas proses demokrasi dan keabsahan administrasi pejabat publik.

Dalam pernyataan-pernyataan tersebut, ia mengklaim bahwa dokumen pendidikan yang digunakan Presiden Jokowi dalam proses pencalonan gubernur pada 2012 diduga kuat bukanlah dokumen otentik, melainkan hasil reproduksi yang dicetak ulang di sebuah kios di kawasan Pasar Pramuka, Jakarta Pusat.

Lebih lanjut, Beathor menyebut keterlibatan sejumlah nama dalam proses tersebut, seperti Deni Iskandar—yang diklaim memahami persyaratan pencalonan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta—dan Widodo, yang disebut membawa dokumen tersebut ke kios milik Paiman. Paiman sendiri digambarkan sebagai sosok yang memiliki latar belakang akademik tinggi, bahkan disebut sebagai mantan rektor bergelar profesor doktor.

Beathor menegaskan bahwa praktik pemalsuan dokumen di wilayah Pasar Pramuka bukanlah hal baru. Ia menyatakan bahwa kawasan tersebut sudah lama dikenal sebagai tempat marak pencetakan ijazah palsu, terutama oleh mereka yang tidak menyelesaikan pendidikan formal namun ingin mendapatkan dokumen legalitas administratif.

Pernyataan kontroversial ini menuai reaksi beragam. Sebagian kalangan menilai Beathor tengah memainkan peran sebagai whistleblower, mengungkap tabir yang selama ini tersembunyi. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap tudingan tersebut sebagai bentuk serangan politik yang tidak berdasar.

Namun, klaim ini dibantah keras oleh politikus PDIP lainnya, Prasetyo Edi Marsudi. Ia menegaskan bahwa Beathor tidak pernah terdaftar dalam tim resmi pemenangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam Pilgub DKI 2012. Prasetyo menyatakan bahwa seluruh proses administratif pencalonan dilakukan oleh tim resmi gabungan PDIP dan Partai Gerindra yang terdaftar di KPU DKI Jakarta. Nama-nama seperti Marihot Napitupulu, M. Syarif, dan Isnaini disebut sebagai bagian dari tim pemenangan resmi.

Hingga kini, sepertinya belum ada lagi tanggapan resmi dari Solo, atau, atau pihak terkait yang lainnya secara spesifik membantah atau mengklarifikasi secara hukum tudingan tersebut. Namun, dalam sistem demokrasi dan negara hukum, tuduhan semacam ini semestinya dibuktikan melalui jalur yang sah: pelaporan ke lembaga penegak hukum seperti Bareskrim Polri atau Mahkamah Konstitusi, bukan hanya disampaikan melalui media sosial atau kanal YouTube.

Fenomena Beathor yang mendadak muncul dan langsung menjadi pusat perhatian ini pun dianalogikan layaknya meteor di langit malam. Dalam ilmu astronomi, meteor adalah cahaya terang yang muncul akibat gesekan antara meteoroid—pecahan batu luar angkasa—dengan atmosfer Bumi.

Gesekan tersebut menciptakan ledakan panas dan cahaya yang dramatis, meski hanya berlangsung sesaat. Fenomena ini sering disebut sebagai “bintang jatuh”, walaupun tidak ada kaitannya dengan bintang sejati. Meteor umumnya berasal dari pecahan asteroid atau komet yang melaju dengan kecepatan tinggi, dan saat memasuki atmosfer, mereka menyala terang sebelum akhirnya terbakar habis.

Analogi ini memberi makna ganda terhadap sosok Beathor. Di satu sisi, kehadirannya yang tiba-tiba dan mencolok menggambarkan keberanian dalam menyuarakan sesuatu yang menurutnya penting, meskipun menuai kontroversi. Namun di sisi lain, layaknya meteor, sinarnya bisa cepat padam apabila tidak ditopang oleh data kuat, bukti hukum, dan legitimasi proses. Tanpa fondasi yang kokoh, sorotan terhadap sosok Beathor bisa menghilang secepat ia muncul, hanya meninggalkan jejak sesaat dalam langit politik nasional.

Dalam konteks hukum dan administrasi negara, tuduhan terhadap keabsahan dokumen pejabat publik bukanlah hal sepele. Aturan mengenai keabsahan dokumen pencalonan tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Jika benar terjadi pemalsuan, maka hal tersebut dapat dijerat dengan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemalsuan surat.

Namun pembuktian harus dilakukan secara hukum, bukan sekadar opini atau asumsi publik. Maka dari itu, saluran hukum adalah satu-satunya jalan untuk mengubah dugaan menjadi fakta yang sah.

Apapun motif dan kebenaran di balik pernyataan Beathor, kemunculannya telah mengguncang permukaan wacana publik Indonesia. Secara pribadi saya angkat topi atas keberanian dari langkang Benthor Suryadi. Dalam iklim demokrasi yang sehat, keterbukaan terhadap kritik dan klarifikasi adalah hal yang wajib dijaga.

Namun dalam prosesnya, semua pihak tetap harus menjunjung prinsip kehati-hatian, akurasi data, dan prosedur hukum yang berlaku. Meteor memang indah untuk dilihat, namun cahaya sesaat tidak cukup untuk menerangi kegelapan jika tidak diikuti dengan langkah-langkah nyata dan substansial. Akan tetapi, boleh jadi Benthor Suryadi sudah mempersiapkan banyak hal, termasuk langkah kejutan lainnya yang lebih bersinar.