JAKARTA RAYA – Pemberhentian mendadak terhadap Komisioner Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) menuai kritik tajam. Saksi Ahli Sidang Perkara 7/G/2025/PTUN.JKT dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi menegaskan perlunya evaluasi dari Presiden, karena ada kelemahan secara hukum, secara substansial yang telah merugikan. “Seharusnya ini ditinjau ulang dengan cara mencabut Kepres 69/M/2024 tentang pemberhentian KTKI itu” , jelas Panelis Debat Capres Cawapres 2024
Lebih lanjut lagi, Fahmi mengingatkan agar Pemerintah perlu men-clear-kan aturan peralihannya. “Aturan peralihan itu memberikan kepastian sehingga mesti memuat tentang pemberhentian Pejabat LNS untuk menghindari kekosongan hukum”. Kedua, aturan peralihan untuk memberikan rasa keadilan orang-orang yang terdampak ya atau dirugikan oleh peraturan baru itu”, pungkas Pakar Hukum Tata Negara ini.
Lebih lanjut lagi, Khairul Fahmi menjelaskan prinsip aturan peralihan. “Tidak boleh peralihan norma itu kemudian menyebabkan orang dirugikan tapi tidak ada jalan keluar atas peralihan itu. Karena ini sumber masalahnya adalah ketiadaan dasar hukum pemberhentian dari apa dari pejabat KTKI, maka dasar hukumnya itu harus diperbaiki dulu.
Khairul Fahmi memberikan contoh, misalnya PP ya, sudah mungkin diubah aja PP-nya. Yang pasti jangan kemudian diubah itu untuk membenarkan apa yang sudah ada. Tapi adalah satu memuat tentang kepastian masa jabatan itu, kemudian kalau akan dilakukan pemotongan masa jabatan itu, maka mesti ada kepastian juga terhadap nasib dari orang-orang yang selama ini menjabat dan mengabdi di KTKI.
Ia menambahkan bahwa antara “Lembaga” dan “pejabat yang menjabat” adalah dua entitas berbeda, sehingga aturan peralihan tidak hanya harus mengatur struktur kelembagaan, tetapi juga nasib pejabat yang masih memiliki masa jabatan aktif.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia untuk bidang HAM dan Hukum Kesejahteraan Sosial, Prof. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., M.Ag., Ph.D., yang juga hadir sebagai saksi ahli menyatakan bahwa pemberhentian anggota KTKI sebelum masa jabatan mereka berakhir akibat kebijakan baru merupakan bentuk ketidakadilan. Menurutnya, hukum tidak boleh ditegakkan hanya berdasarkan formalitas normatif, tetapi juga harus mempertimbangkan keadilan substansial dan aspek kemanusiaan.
“Hukum tidak dibuat hanya untuk sekelompok orang, tetapi untuk sebanyak mungkin orang. Jangan sampai menzalimi mereka yang sudah mengabdi dengan ikhlas kepada negara,” tegasnya.
Di sisi lain, Yuherman Kuasa Hukum KTKI mengingatkan: “Setiap keputusan TUN harus mengacu pada prinsip kepastian hukum dan perlindungan hak, termasuk hak ekonomi dan sipil yang melekat pada jabatan yang diangkat secara sah melalui SK Presiden.”
“Semestinya, dalam sistem hukum yang menetapkan masa jabatan dengan periodisasi tertentu, pemutusan sebelum waktunya hanya bisa dilakukan dengan alasan sah yang ditentukan oleh hukum melalui Aturan Peralihan. Jika tidak, maka keputusan tersebut cacat hukum,” tegas Yuherman Kuasa Hukum KTKI di hadapan majelis hakim.
Bahkan, pemutusan jabatan sebelum masa tugas berakhir tanpa alasan hukum yang sah adalah bentuk pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan perlindungan hukum. Dalam sidang gugatan Kepres Pemberhentian KTKI, mereka didampingi oleh Kantor Pengacara Prof. Gayus Lumbuun & Associates yang terdiri dari Prof Gayus Lumbuun, Dr. Yuherman, SH MH M.Kn, Robert R. Mandolang SH dan Naning Widhiharti, SH.
Komisioner KTKI, Rachma Fitriati, menyebut terbitnya kebijakan Kepres 69/M/2024 adalah bentuk pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), hak asasi manusia (HAM), serta pengabaian terhadap asas kepastian hukum.
Rachma mengingatkan bahwa perjuangan ini bukan sekadar mempertahankan jabatan, melainkan tentang penghormatan terhadap konstitusi, profesionalisme, dan hak asasi dalam tata kelola pemerintahan. “Negara boleh berubah, struktur boleh direvisi, tapi keadilan tidak boleh dikorbankan. Kami hanya meminta hak kami dikembalikan secara bermartabat dan sesuai hukum,” pungkasnya.
“Sebagian dari kami terpaksa berpindah profesi secara mendadak. Bahkan ada yang kini menjadi pengemudi daring. Ini menyakitkan,” kata Rachma Fitriati, dalam pernyataannya, Senin (26/5/2025).
Menurut Rachma, pemberhentian tersebut dilakukan tanpa proses yang transparan dan akuntabel. Padahal, berdasarkan Pasal 450 UU 17/2023 tentang Kesehatan, KTKI masih memiliki wewenang dan tugas hingga struktur baru terbentuk secara sah. “Pasal itu menjamin keberlanjutan tugas kami. Tapi yang terjadi justru pemecatan mendadak dan secara sepihak,” ujarnya.
Set KTKI yang sekarang menjadi Dirjen Nakes, mengatakan sudah tidak ada masa transisi bagi KTKI, sesuai arahan Kemensesneg. “Logikanya, tidak mungkin, Kemensesneg memiliki kewenangan di atas UU.” “UU 17/2023 Pasal 450 jelas-jelas memberikan masa transisi sampai terbentukanya Konsil baru”, tegas Rachma. Konsil baru belum terbentuk, PMK 12/2024 Pasal 50 sudah memberhentikan fungsi, tugas dan wewenang KTKI. Inilah letak cacat hukumnya karena PMK 12/2024 Pasal 50 melampaui UU No. 17/2023 Pasal 450. (hab)
Tinggalkan Balasan