JAKARTA RAYA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengonfirmasi bahwa eksekusi terhadap pekerja migran asal Karawang, Susanti binti Mahfudz, yang semula dijadwalkan pada 9 April 2025 di Arab Saudi, ditunda hingga Juni mendatang. Penundaan ini membuka ruang harapan, namun sekaligus mengundang sorotan publik terhadap efektivitas diplomasi dan perlindungan negara bagi WNI di luar negeri.

Ketua Umum Federasi Buminu Sarbumusi, Ali Nurdin, menegaskan bahwa penundaan tersebut harus dimaknai sebagai peluang untuk bertindak, bukan sekadar menunggu. “Penundaan bukanlah pengampunan. Pemerintah perlu memaksimalkan waktu ini untuk menyelesaikan persoalan diyat dan membenahi jalur diplomasi yang selama ini kurang efektif,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.

Ali juga menyoroti kejanggalan dalam proses hukum yang menimpa Susanti. Ia mengungkapkan kekhawatiran atas ketimpangan perlakuan hukum terhadap Susanti, yang saat itu masih anak-anak, baru tiba di negeri asing, serta memiliki keterbatasan bahasa dan pemahaman hukum.

Terkait diyat (uang tebusan), Ali menilai praktik yang berkembang saat ini menunjukkan gejala komersialisasi nyawa, yang menyimpang dari nilai-nilai keadilan. “Ketika angka diyat melonjak hingga puluhan miliar rupiah, itu menandakan ada praktik tarifisasi yang mencederai prinsip keadilan dalam hukum qishash,” ujarnya.

Ia juga menyoroti ketimpangan diplomasi internasional. Ali membandingkan bagaimana sejumlah warga negara asing yang divonis mati di Indonesia bisa dipulangkan melalui jalur diplomatik, sementara banyak kasus WNI di luar negeri tidak mendapat perlindungan setara.

“Kita harus membangun sistem perlindungan yang kuat dan berkelanjutan, bukan hanya responsif saat krisis. Diperlukan perjanjian bilateral dan nota diplomatik permanen agar negara bisa segera bertindak saat warganya terancam,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ali menilai bahwa kelemahan sistem migrasi Indonesia—dari proses penempatan hingga minimnya pendampingan hukum—telah menjadi akar dari banyak persoalan. Dalam kasus Susanti, ia menyebut perempuan muda itu sebagai korban dua sistem: hukum keras negara penempatan dan lemahnya perlindungan negara asal.

Menutup pernyataannya, Ali menekankan bahwa amanat konstitusi jelas: negara wajib melindungi setiap warga negara, di mana pun mereka berada.

“Ini bukan hanya soal Susanti. Ini tentang bagaimana negara memperlakukan warganya di luar negeri. Kemanusiaan dan keadilan harus menjadi pijakan utama dalam setiap kebijakan,” tutupnya. (hab)