Oleh: Dahlan Muhammad
Logika hukum dan logika publik sering kali berbenturan dengan dahsyat. Apa yang diyakini sebagai kebenaran atau kejahatan oleh para hakim dan jaksa, kerap kali bertolak belakang dengan apa yang dirasakan oleh publik.
Mari kita lihat ke belakang. Di era 1970-an, ada kasus Robby Cahyadi, pelaku penyelundupan mobil mewah yang merugikan negara sekitar Rp700 juta. Ia divonis 7,5 tahun penjara. Sekarang? Korupsi bukan lagi soal ratusan juta, tapi sudah menyentuh angka triliunan rupiah.
Kita tentu masih ingat skandal Bank Bali di awal 2000-an. Joko S. Chandra, pelaku utamanya, justru dimenangkan oleh Mahkamah Agung dalam kasasi. Ia bahkan nyaris mengantongi Rp546 miliar dan bebas.
Di era 2020-an, korupsi makin menggila. Sekelompok anak muda di anak perusahaan Pertamina, berusia sekitar 40-an tahun, diduga merugikan negara hingga Rp300 triliun. Tak lama kemudian, muncul lagi kasus mencengangkan: empat orang yang disebut-sebut sebagai “wakil Tuhan” turut ditangkap dalam kasus korupsi minyak goreng senilai Rp60 miliar.
Beberapa waktu lalu, aparat penegak hukum pun terseret. Kasus Ferdy Sambo jadi sorotan, diikuti kasus Rafael Alun Trisambodo—mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu—yang dihukum 14 tahun penjara karena gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Bahkan Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata, turut disebut dalam berbagai laporan.
Bagi masyarakat awam, berita korupsi miliaran hingga triliunan kini tak lagi mengagetkan. Telinga publik sudah bosan mendengarnya. Yang lebih menyakitkan, kasus-kasus itu sering kali menghilang tanpa kejelasan, seperti ditelan bumi.
Hukum di negeri ini masih menimbulkan kecurigaan. Hakim sering kali menjadi ganjalan besar bagi tegaknya keadilan. Ketidakadilan masih menghantui rakyat. Kebebasan hakim memang harus dijunjung tinggi, tetapi kepercayaan publik terhadapnya, kapan akan hadir?
Kekacauan tak berhenti di situ. Seorang dokter dilaporkan melakukan pencabulan. Di BUMN seperti PLN, dan di Kementerian Komunikasi, juga terjadi korupsi. Lalu, ke mana rakyat harus mengadu? Katanya ke DPR, tapi jawabannya pun sering “akan ditindaklanjuti”, meski banyak juga anggota dewan yang terseret kasus korupsi.
Elitisme kejahatan—korupsi—telah merata: dari “wakil Tuhan”, wakil rakyat, birokrasi pusat hingga ke pelosok desa. Lalu, siapa lagi yang bisa dipercaya? Tuhan?
Reformasi lahir sebagai upaya membongkar kebuntuan konstitusi. Namun, setelah 26 tahun, hukum masih lemah. Kini kita dengar Presiden Prabowo lantang berjanji akan membasmi koruptor “sampai ke langit”. Mungkin, memang sudah saatnya Presiden bertanya pada Tuhan.
Reformasi berbicara soal KKN. Korupsi jelas wujudnya. Kolusi pun bisa dikenali bentuknya. Tapi bagaimana dengan nepotisme?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme diartikan sebagai tindakan yang cenderung mengutamakan atau menguntungkan kerabat atau sanak saudara. Para pakar biologi menyebut bahwa nepotisme adalah kecenderungan naluriah sebagai bentuk perlindungan terhadap sesama saudara.
Lalu, bagaimana dengan Kabinet Indonesia Maju? Mampukah mereka berdaulat atas dirinya sendiri? Mampukah mereka membersihkan diri dari praktik kotor? Atau, mungkinkah kita perlu sebuah ritual kebangsaan untuk menyadarkan bahwa elitisme kejahatan telah menggila, digerakkan oleh keserakahan yang membabi buta?
Yang kita harapkan: jangan sampai pemimpin hanya omon-omon, politikus bicara sembarangan, dan cendekiawan takut bersuara. (***)
Tinggalkan Balasan