JAKARTA RAYA — Para pendiri bangsa tidak pernah memisahkan secara tajam hubungan antara sipil dan militer. Bagi mereka, yang utama adalah semangat kebangsaan: satu bangsa, satu negara, satu kesatuan politik demi Indonesia yang kuat dan berdaulat.
Pandangan tersebut disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, dalam diskusi publik bertajuk “Redefinisi Hubungan Sipil-Militer Menuju Indonesia Kuat dan Berdaulat” yang diselenggarakan Partai Negoro pimpinan Faizal Assegaf di Kantor SinKos Indonesia, Tebet, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
Menolak Dikotomi Sipil-Militer
Margarito menegaskan bahwa pemisahan tajam antara sipil dan militer sejatinya bukan berasal dari tradisi politik Indonesia, melainkan dari pemikiran Barat.
“Konsep yang membedakan sipil dan militer itu datang dari Barat, dari kelompok oligarkis dan aristokrat masa lalu. Kita harus cerdas mengenali hidden mind di balik konsep semacam ini, karena bisa memecah-belah bangsa,” ujarnya.
Menurutnya, bangsa Indonesia justru harus memperkuat sinergi antara dua elemen ini. “Saya tidak setuju bila sipil dianggap harus begini dan militer harus begitu. Itu keliru. Dalam konteks Indonesia, keduanya adalah satu kesatuan,” tegas Margarito.
Ia menambahkan, pandangan yang menempatkan negara berhadapan dengan masyarakat adalah warisan pemikiran lama yang tidak relevan dengan semangat konstitusi Indonesia. “TNI, Polri, Jaksa, dan lembaga lainnya adalah organ pemerintah yang berada di bawah Presiden. Semua bekerja untuk kepentingan rakyat,” katanya.
Konsep Negara Kesejahteraan dan Peran Pemimpin
Dalam pandangannya, Presiden Prabowo Subianto memahami dengan baik konsep negara kesejahteraan. “Pak Prabowo tahu bahwa tugas negara adalah mengurus rakyat dari lahir hingga meninggal dunia—urusan makan, pendidikan, kesehatan, dan perumahan semua harus diurus negara,” tegas Margarito.
Ia menambahkan, pemimpin yang baik adalah yang memastikan semua institusi bekerja di bawah satu komando demi kesejahteraan rakyat. “Kalau Presiden beres, negara beres. Kalau bawahannya tidak beres, rakyat pun menderita,” ujarnya.
Sejarah pun menunjukkan, sejak awal kemerdekaan tahun 1945, Indonesia sudah memiliki 14 departemen—lebih banyak dibanding Amerika Serikat saat itu yang hanya memiliki tiga—karena sejak awal, tujuan negara ini memang kesejahteraan rakyat.
Perlu Kolaborasi untuk Hadapi Perang Hybrid
Sementara itu, pengamat militer Dr. Selamat Ginting menyoroti pentingnya redefinisi hubungan sipil dan militer di era modern. Ia menjelaskan, peperangan masa kini tidak lagi konvensional, melainkan telah bergeser menjadi perang hybrid—yang memadukan aspek politik, ekonomi, psikologis, siber, dan kebudayaan.
“Dalam perang hybrid, batas antara sipil dan militer jadi kabur. Karena itu, perlu kolaborasi simbiosis antara keduanya,” ujar Ginting. Ia memuji sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (hankamrata) yang telah dirancang para pendiri bangsa, di mana TNI dan Polri menjadi kekuatan utama sementara rakyat menjadi pendukung strategis.
Sinergi dan Harmonisasi Hubungan Sipil-Militer
Margarito Kamis kembali menegaskan bahwa resistensi terhadap peran TNI dalam jabatan sipil sudah tidak relevan. “Di banyak negara, hubungan sipil-militer justru semakin kuat dan harmonis melalui konsep Civil-Military Cooperation (CIMIC). Jadi yang dibangun adalah sinergi, bukan sekat-sekat baru,” katanya.
Menurut Margarito, mewujudkan kesatuan antara militer dan sipil penting untuk memastikan stabilitas nasional dan kemajuan bangsa. “Kolaborasi yang baik memperkuat pertahanan negara sekaligus mempercepat pembangunan masyarakat,” tambahnya.
Suara dari Generasi Muda
Aktivis muda asal Aceh, Muhammad Fadil, turut memberikan pandangan bahwa masyarakat sipil juga harus berperan aktif dan tidak menyerahkan semua urusan kepada militer.
“Kedaulatan dan kemakmuran Indonesia hanya bisa dicapai jika masyarakat bersatu dan militer diperkuat,” ujarnya.
Ia menilai keterlibatan TNI dalam jabatan sipil dimungkinkan sepanjang sesuai dengan regulasi yang berlaku, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Saya setuju militer harus kembali ke barak, tapi saya juga tidak sepakat kalau mereka dilarang total menduduki jabatan sipil,” jelasnya.
Menurutnya, penempatan personel TNI di jabatan sipil harus didasarkan pada kebutuhan dan permintaan dari kementerian atau lembaga terkait, bukan atas inisiatif TNI sendiri. “Yang penting mereka melalui seleksi kompetensi yang ketat, bukan karena faktor kedekatan politis,” tegas Fadil.
Ia menutup dengan pesan moral: “Tugas utama pemerintah adalah memastikan rakyat sejahtera. Jangan ada rakyat yang lapar, anak-anak harus sekolah, dan rakyat harus punya rumah. Kalau itu terwujud, Indonesia akan jadi negara besar seperti cita-cita para pendiri bangsa.”
Persatuan Adalah Kekuatan
Diskusi publik tersebut menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Kolonel (Purn) Sri Rajasa, Dr. Selamat Ginting, Dr. TB Massa Djafar, M.Si, Dr. Eduardus Lemanto, serta Inisiator Aliansi Mahasiswa Nusantara Muhammad Fadil, dengan Edy Mulyadi sebagai moderator.
Kesimpulan yang mengemuka: hubungan sipil dan militer bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dipersatukan. Karena dari rahim yang sama bangsa ini lahir—sipil dan militer, keduanya anak kandung Republik yang memiliki tanggung jawab bersama menjaga Indonesia tetap kuat, berdaulat, dan sejahtera. (hab)


Tinggalkan Balasan