JAKARTA RAYA- Telah beredar secara illegal, surat putusan perkara sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur terkait Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI) oleh Hidayat Agus Sabarudin, SST, yang kini menjadi Ketua Kolegium Radiografer Kementerian Kesehatan yang dia unggah di WAG KTKI pada tanggal 30 Juli 2025 pukul 8.00 WIB. Salinan putusan perkara Nomor: 7/G/2025/PTUN.JKT yang beredar belum ditandatangani Ketua Majelis Hakim, dan pada saat itu, belum diunggah secara resmi di sistem e-court maupun SIPP (Sistem Informasi Penelusuran Perkara) PTUN Jakarta Timur.

Dr. Yuherman, SH M.Kn selaku Kuasa Hukum dari Kantor Prof. Gayus Lumbuun dan Asosiasi, menyatakan keheranannya atas beredarnya putusan lengkap yang belum ditandatangani pimpinan majelis hakim sejak pagi hari, Selasa (30/7/2025). Ia menilai penyebaran dokumen tersebut melanggar etika dan integritas peradilan.

“Tapi kenapa sudah beredar dari ex-KTKI, putusan lengkap yang belum ditandatangani Ketua Majelis Hakim, pagi hari (30/7)? Padahal putusannya saja belum di-upload dan diumumkan di e-court SIPP,” ujar Rachma Fitriati salah seorang penggugat/principal dari Konsil Kesehatan Masyarakat.

Muhammad Jufri Sade, PNS Kementerian Kesehatan yang bertugas di Propinsi Timor Timur selama 17 tahun, KTKI Kesehatan Lingkungan, menyebut bahwa Hidayat Agus Sabarudin SST, sebagai mantan KTKI yang kini salah satu Ketua Kolegium Kementerian Kesehatan, diduga telah menyebarkan dokumen tersebut. Padahal, kuasa hukum pihak penggugat — dalam hal ini Tim Prof Gayus Lumbuun — belum menerima salinan resmi dari pengadilan.

“Sampai sekarang, kuasa hukum kami belum terima berkasnya dari Panitera. Tapi orang luar yang bukan prinsipal malah bisa mendapatkan putusan lengkap. Ini sangat aneh,” tegas Agus Budi Prasetyo, prinsipal profesi penata/perawat anestesi, yang kini beralih profesi sebagai driver online di Yogya akibat keluarnya Kepres 69/M/2024 sangat mendadak tanpa ada transisi, mitigasi, dengan proses seleksi hanya 8 hari.

Padahal menurut Rahmaniwati, S.Pd., M.Kes., Saksi Ahli Tergugat Prof. Dr. Lita Tyesta Guru Besar Undip menganalogikan pada jabatan Komisioner KTKI setara dengan Kepala Daerah. Sedangkan Saksi Ahli dari Universitas Andalas Dr. Khairul Fahmi SH MH, mengingatkan Negara harus memberi Ganti Rugi.

Menurut Prof Heru Susetyo Guru Besar UI bidang HAM, pemberhentian anggota KTKI sebelum masa jabatan mereka berakhir akibat kebijakan baru merupakan bentuk ketidakadilan. Menurutnya, hukum tidak boleh ditegakkan hanya berdasarkan formalitas normatif, tetapi juga harus mempertimbangkan keadilan substansial dan aspek kemanusiaan. “Hukum tidak dibuat hanya untuk sekelompok orang, tetapi untuk sebanyak mungkin orang. Jangan sampai menzalimi mereka yang sudah mengabdi dengan ikhlas kepada negara,” tegasnya.

Penggugat lainnya, Chandi Lobing anggota KTKI dari Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara menyampaikan: “berdasarkan Saksi Ahli tersebut, Pemerintah harus memberi kompensasi uang sebesar gaji pokok dikalikan jumlah bulan yang tersisa serta mendapatkan hak pensiun untuk satu periode”. Kebijakan ini “mengacu UU No 1/2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Pasal 202.

Penggugat lainnya, seorang apoteker Sri Sulistyati, APT, menegaskan “Setiap awal sidang, Ketua Majelis Hakim selalu memulai dengan pernyataan integritas proses hukum.” “Dilarang keras bagi pihak manapun untuk menghubungi hakim atau aparatur pengadilan di luar persidangan, tapi kok keputusan sidang bisa bocor?” tanya Sri Sulistyati.

Imelda Retna Weningsih, principal profesi perekam medis dan informasi kesehatan, juga menyoroti bahwa dalam sistem e-court, penggugat dan kuasa hukumnya belum dapat mengakses putusan secara resmi karena masih terdapat kewajiban pembayaran sebelum dokumen bisa diunduh. Hal ini menambah kecurigaan bahwa telah terjadi kebocoran dokumen secara tidak sah.

Pihak KTKI mendesak agar PTUN Jakarta Timur segera mengusut dugaan kebocoran dan penyebaran ilegal dokumen putusan tersebut. Syofia Nelli principal dari profesi ahli Gizi, menyatakan bahwa tindakan ini mencederai prinsip-prinsip peradilan yang adil, transparan, dan berintegritas.

Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari PTUN Jakarta Timur dan mantan anggota KTKI, Hidayat A. Sabarudin, yang kini menjadi Ketua Kolegium Radiografer yang diduga menyebarkan surat putusan tersebut.