JAKARTA RAYA –  Zaka Pringga Arbi, salah satu pegawai di Kementerian Koperasi, (dulu Kemenkop UKM) mengaku saat ini dirinya tengah mencari keadilan atas pemberhentiannya sebagai aparatur sipil negara (ASN).

Zaka menuturkan, dirinya menjadi korban fitnah atas kasus dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh rekan kerjanya, sehingga berujung pada pelaporan ke pihak kepolisian. Terkait dengan kasus itu, ia dijatuhi sanksi pemberhentian dengan hormat (PDH).

Meski begitu kata Zaka, kasus dugaan tindak pidana yang dituduhkan itu tidak terbukti. Hal itu terungkap pada sidang praperadian pertama hingga praperadilan kedua, bahwa majelis hakim memutuskan Zaka Pringga Arbi dinyatakan tidak bersalah.

Oleh karena itu, guna mengembalikan haknya sebagai ASN, melalui kuasa hukumnya Nurseylla Indra S.H.,M.M., mengajukan gugatan ke PT TUN. Dalam amar putusannya, hakim mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.

“Bahkan hingga tingkat kasasi, berdasarkan Putusan Nomor 105 K/TUN/2024 tanggal 6 Mei 2024, Majelis Hakim Kasasi ikut menguatkan Putusan PT TUN agar mengaktifkan kembali Zaka Pringga Arbi bekerja di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM,” ujar Zaka dalam keterangannya, Ahad (29/6/2025).

Namun demikian, Zaka mengaku kecewa atas putusan PK yang diajukan oleh Ketua BPASN. Dimana dalam amar putusannya mengabulkan PK yang diajukan oleh Ketua  BPASN dan membatalkan putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 105 K/TUN/2024 tanggal 6 Mei 2024, dengan alasan Judex Juris pada tingkat kasasi telah terdapat kekhilafan hakim.

Anehnya, permohonan PK yang diajukan oleh Ketua BPASN justru bertolak belakang dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 105 K/TUN/2024 tanggal 6 Mei 2024, yang memerintahkan Ketua BPASN merehabilitasi hak-hak Zaka agar ditempatkan pada jabatan semula atau setingkat di Kementerian Koperasi dan UKM.

Padahal, sebelumnya Ketua BPASN telah menerbitkan surat keputusan yang memerintahkan kepada Menteri Koperasi dan UKM untuk mengaktifkan kembali Zaka Pringga Arbi sebagai PNS di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM, hal itu berdasarkan surat keputusan: Ketua BPASN Nomor 118/KPTS/BPASN/2024.

“Putusan itu tentu selaras dengan pendapat Majelis Hakim Kasasi. Dimana dalam putusan sebelumnya ikut menguatkan Putusan PT TUN agar mengaktifkan kembali Zaka Pringga Arbi bekerja di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM,” katanya.

Untuk itu, Zaka mengaku akan memperjuangkan hak-haknya hingga dapat aktif bekerja kembali sebagai PNS. “Saya ini korban fitnah, dan tidak melakukan hal sebagaimana yang dituduhkan. Saya berharap dalam PK kedua nanti hakim memiliki hati nurani dan memberikan putusan yang objektif,  karena saya masih percaya banyak hakim MA yang berintegritas,” pungkasnya.

Menanggapi hal itu, analis hukum dan kebijakan publik, Adi Suparto, S.H.,M.H., menilai bahwa Mahkamah Agung (MA) sebagai “Garda Terakhir Pencari Keadilan”. Untuk itu  hakim MA diminta lebih objektif dalam memutuskan sebuah perkara yang tengah ditanganinya.

Hal tersebut dikatakan Adi menanggapi putusan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus yang menimpa Zaka Pringga Arbi, pegawai Kementerian Koperasi (Kemenkop) yang menjadi korban fitnah yang dilaporkan oleh salah satu rekan kerjanya.

Dimana, dalam PK tersebut, MA mengabulkan gugatan PK dari pihak Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) dan meminta Zaka Pringga Arbi diberhentikan dari ASN Kemenkop.

Menurut Adi, putusan itu tentu tidak mendasar. Jika hakim mendalilkan bahwa ada tindak pidana yang pernah dilakukan oleh Zaka, hal itu sudah terbantahkan dengan putusan Praperadilan pertama dan Praperadilan kedua.

“Jika hakim mendalilkan putusan itu karena hakim sebelumnya khilaf dan tanpa mempertimbangkan adanya pidana, kami menilai argumen hakim yang tak berdasar. Sebab pada sidang praperadilan pertama dan kedua, Zaka dinyatakan tidak bersalah,” ujar Adi dalam keterangannya, Sabtu (28/6/2025)..

Kemudian, berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau PT TUN, memerintahkan agar BKN mengangkat kembali saudara Zaka setelah sebelumnya diberhentikan.

Namun putusan itu sepertinya tidak memuaskan Ketua BPASN, yang akhirnya mengajukan PK, sehingga dalam putusan PK tersebut, hakim mengabulkan gugatan PK yang dilayangkan oleh BPASN.

“Jika dalam putusan PK itu hakim berdalih bahwa hakim sebelumnya ada kelalaian dari hakim PT TUN, bukankah putusan PT TUN itu merupakan sebuah produk hukum yang harus dihormati. Ini artinya hakim MA kontraproduktif dengan putusan sebelumnya. Nah ini yang harus menjadi catatan,” katanya.

Padahal, kata Adi, dalam sistem hukum, hakim harus menjunjung tinggi supremasi hukum. Sebab hakim agung ditempatkan sebagai benteng terakhir keadilan, pemutus perkara akhir, dan simbol keyakinan publik terhadap negara hukum.

Dengan begitu, Adi menilai sebagai aktor tertinggi dalam struktur peradilan, runtuhnya integritas Mahkamah Agung menjadi sinyal bahwa sistem keadilan sedang berada dalam krisis.

Hal tersebut sebagaimana Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada akhir 2023 mencatat turunnya kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung dari 68% (2020) menjadi hanya 42%.

“Peran hakim agung tidak sebatas fungsi kasasi dan pengawasan, melainkan juga penjaga keadilan substantif. Dalam perspektif moral, hukum yang adil lahir dari integritas dan nurani,” tutur dia.

Mengutip The Bangalore Principles, ada enam prinsip yang harus menjadi karakter hakim yakni independensi, ketidakberpihakan, integritas, kesopanan, kesetaraan, dan kompetensi.

“Maka, ketika prinsip-prinsip itu diabaikan, muncul ruang bagi praktik transaksional yang meruntuhkan marwah peradilan sekaligus menghantam pilar ekonomi,” jelasnya.

Meski demikian, tidak semua hakim memiliki cara pandang tidak objektif. Masih ada hakim yang tetap menjunjung tinggi keadilan, berintegritas, dan berjuang diam-diam menjaga kehormatan profesinya.

“Kita perlu melindungi para penegak hukum yang bekerja dengan nurani dan menegakkan hukum dengan rasa takut kepada Tuhan, bukan pada kekuasaan atau uang,” ajak dia.

Terkait dengan putusan PK Adi berharap agar kuasa hukum Zaka Pringga Arbi kembali mengajukan PK, sehingga yang bersangkutan dapat mencari keadilan melalui PK kedua.

“Saudara Zaka masih memiliki peluang untuk mencari keadilan melalui PK kedua. Dan saya yakin di Mahkamah Agung masih banyak hakim yang memiliki hati nurani. Terlebih Zaka ini adalah orang yang dizalimi,” pungkas Adi. (hab)