Oleh: Dahlan Muhammad
JAKARTA RAYA – Dalam berbagai situasi, keterbukaan sering dianggap sebagai kunci penyelesaian masalah. Saat kita mengunjungi dokter, misalnya, kita harus jujur menceritakan keluhan yang dirasakan agar dokter dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat dan memberikan obat yang sesuai. Hal yang sama berlaku dalam bidang lain. Seorang petani pun harus terbuka kepada ahlinya saat tanaman bunga mereka bermasalah, seperti warna bunga yang pudar atau jumlah bunga yang berkurang. Namun, ketika yang diperiksa adalah praktik yang melibatkan Aparat Penegak Hukum (APH), kejujuran sering kali menjadi barang langka.
Lalu, bagaimana jika prinsip buka-bukaan diterapkan dalam tata kelola negara? Apakah hal itu akan menjadi solusi atas berbagai persoalan atau justru mempermalukan pihak-pihak yang terlibat? Lebih jauh lagi, apakah bangsa ini siap menelan rasa malu, atau malah sudah tidak peduli dengan rasa malu? Bagi rakyat, jika para elite politik dan pejabat publik memilih untuk buka-bukaan, hal itu justru bisa menjadi hiburan. Wajah-wajah penuh “cacat” moral akan menjadi bahan candaan di warung kopi, spanduk satir, hingga celotehan di media sosial. Keterbukaan ini akan membongkar siapa yang sebenarnya pembohong kelas berat di negeri ini.
Rakyat sudah terlalu sering dibuat muak dengan janji-janji manis dan kebohongan elite. Mereka sudah tidak asing dengan kasus besar yang menjadi headline sejenak, lalu menghilang tanpa efek jera. Kasus-kasus seperti Papa Minta Saham, Petral, BTS, minyak goreng, dan berbagai skandal lainnya hanyalah segelintir contoh bagaimana hukum kadang terasa tumpul ke atas. Hukuman berat tanpa efek jera hanyalah formalitas jika uang negara yang dikorupsi tidak benar-benar kembali.
Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo tentang memberikan pengampunan kepada koruptor asalkan uang yang dikorupsi dikembalikan menuai kontroversi. Konsep ini seolah mengajarkan keterbukaan, namun di sisi lain menghadirkan dilema. Bagaimana cara menyeimbangkan keterbukaan dengan rasa malu bangsa? Apakah ini solusi konkret atau justru langkah yang menjauhkan keadilan dari rakyat? Konsep ini juga terlihat setengah hati, seperti “buka-bukaan setengah kamar.”
Pernyataan politisi seperti Hasto yang siap buka-bukaan jika ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjadi sorotan. Apakah ini sinyal keberanian untuk mengungkap praktik kotor dalam politik, atau sekadar ancaman yang dibungkus demi kepentingan pribadi? Jika keterbukaan itu benar-benar dilakukan, dampaknya bisa sangat besar, baik untuk kepentingan bangsa maupun untuk sekadar menciptakan kekacauan di tengah masyarakat.
Tanggal 13 Januari 2025 mungkin akan menjadi momentum penting bagi bangsa ini. Akankah para pejabat publik, aparat penegak hukum, dan partai politik memiliki keberanian untuk menjadikan buka-bukaan sebagai “obat” untuk menyembuhkan korupsi dan krisis moral? Ataukah keterbukaan ini justru akan menjadi “racun” yang semakin memperkeruh keadaan?
Pada akhirnya, keterbukaan memang menjadi ujian besar bagi semua pihak. Apakah kita siap menerima konsekuensinya, atau hanya akan berhenti di wacana tanpa tindakan nyata? Rakyat tentu menantikan jawaban dari pertanyaan ini. Dan yang terpenting, apakah kita masih memiliki keberanian untuk menghadapi kenyataan bahwa keterbukaan adalah jalan menuju pemulihan, bukan sekadar panggung drama bagi para elite? (***)
Tinggalkan Balasan