Oleh: Ir. Effendi Sianipar, M.M., M.Si.
JAKARTA RAYA – Lebaran 1446 H membawa lembaran baru bagi para pemudik, serta bagi mereka yang tidak mudik. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti jaraknya yang dekat dengan libur Natal dan Tahun Baru (Nataru), atau liburan sekolah yang berdekatan dengan Lebaran. Namun, umumnya masyarakat lebih memilih untuk melakukan “Mantab” (Makan Tabungan) sebagai langkah penghematan.
Menurut data survei dari Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pemudik pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 146,48 juta orang, atau sekitar 52 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 193,6 juta pemudik, atau mengalami penurunan sebesar 24 persen.
Salah satu penyebab penurunan ini adalah perubahan perilaku ekonomi masyarakat akibat lemahnya daya beli dalam beberapa bulan terakhir. Momen Lebaran, yang biasanya diikuti dengan peningkatan aktivitas belanja, kini justru mengalami penurunan transaksi.
Meski pemerintah menganggap deflasi sebagai tanda keberhasilan pengendalian harga, para ekonom justru menilai bahwa kondisi ini mencerminkan lemahnya konsumsi masyarakat. Data menunjukkan bahwa pada Januari tahun ini, tingkat deflasi mencapai -0,76 persen, dan pada Februari -0,48 persen. Deflasi tahunan pada Februari 2025 yang mencapai -0,09 persen merupakan yang pertama dalam 25 tahun terakhir, mengindikasikan bahwa harga barang cenderung turun, namun daya beli masyarakat juga semakin melemah.
Kondisi ini bisa kita amati secara langsung di warung-warung kecil, yang biasanya memiliki perbandingan belanja 1:1 atau 1:2. Kini, perbandingan ini bisa mencapai 1:3 bahkan 1:4, artinya para pedagang warung UMKM harus menunggu hingga hari ketiga atau bahkan keempat baru barang dagangannya habis.
Genjot Investasi
Secara nasional, Pemerintah Pusat menargetkan investasi hingga Rp 1.900 triliun, angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan capaian tahun-tahun sebelumnya, meski dalam kondisi ketidakpastian global dan dinamika politik internasional.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menargetkan investasi hingga Rp 270 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi provinsi tersebut sebesar 5,6 persen pada 2025. Kota Semarang juga menargetkan investasi sebesar Rp 29 triliun pada tahun 2025. Sementara itu, Pemprov Banten meningkatkan target capaian investasi menjadi Rp 119 triliun.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan investasi sebesar Rp 200 triliun hingga Rp 250 triliun dari berbagai proyek strategisnya. Investasi ini diharapkan dapat mendukung perkembangan Jakarta sebagai kota global atau setidaknya sebagai pusat ekonomi kawasan Asia Tenggara.
Dengan semua target investasi tersebut, kondisi geopolitik, politik dalam negeri, dan kebijakan terkait tenaga kerja asing harus dijaga agar tetap transparan. Selain itu, kita perlu meningkatkan kapasitas SDM agar sesuai dengan kebutuhan investor. Kehadiran pemerintah pada sektor ketenagakerjaan sangat penting, terutama pada awal operasional investasi.
Misalnya, pengawasan terhadap penggunaan tenaga kerja asing yang masih kurang ketat dapat berisiko menimbulkan pelanggaran yang tidak ditindak tegas. Jika kondisi ini tidak diubah, meskipun investasi besar masuk, manfaatnya tidak akan maksimal bagi masyarakat Indonesia.
Stabilitas Politik: Sebuah Kebutuhan
Peran intelektual dalam politik seringkali menambah warna, namun kadang membuat kondisi politik menjadi membingungkan dan sulit diprediksi oleh pasar. Hal ini menyebabkan investor ragu untuk berinvestasi, apalagi dengan maraknya penangkapan terhadap para koruptor dengan nilai fantastis. Di satu sisi, ini penting untuk meyakinkan publik bahwa Indonesia serius memberantas korupsi, namun di sisi lain ini juga menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah white collar crime dan premanisme lapangan.
Kehadiran investor asing seharusnya berlandaskan pada prospek bisnis yang nyata, bukan semata-mata sebagai bentuk “kebaikan hati”. Betapa memalukannya jika kita hanya mengandalkan kebaikan hati tanpa menciptakan iklim yang kondusif bagi mereka. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan bahwa potensi ini tidak disia-siakan, apalagi disalahgunakan.
Lalu, sampai kapan Republik ini akan maju?
Sudah saatnya kita mengakhiri kemelut sosial-politik, seperti politik hukum dan saling sandera, serta mulai memperbaiki etalase hukum dengan cara yang lebih jernih, elegan, jujur, dan transparan.
Berkaca pada hal-hal tersebut, harmonisasi antara politik dan ekonomi merupakan kebutuhan yang tak terelakkan. Oleh karena itu, kita membutuhkan “doping” untuk stabilisasi politik guna mencapai target investasi tersebut. Semoga, melalui kebijakan yang bijak dan dukungan semua pihak, kita dapat menyukseskan investasi, dan semoga makan Nasi Goreng (Nasgor) Teuku Umar bersama Bapak Prabowo dapat menjadi jalan terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia. (hab)
Tinggalkan Balasan