Oleh Fran Fardariko, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Sosial (PUSKAS)

JAKARTA RAYA – Nama mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menjadi sorotan internasional setelah masuk sebagai finalis dalam daftar tokoh dunia paling korup versi Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Laporan ini juga didukung oleh Heads of Government Convicted of Crimes (HGCC), yang merupakan organisasi internasional berfokus pada dokumentasi pemimpin dunia yang dihukum karena korupsi.

Ini merupakan pertama kalinya dalam sejarah modern politik Indonesia, seorang kepala negara masuk dalam daftar yang dianggap sebagai “prestasi” negatif dalam kajian internasional terkait korupsi. Apakah ini berarti Jokowi dapat menjadi presiden pertama RI yang diadili baik di dalam negeri maupun di luar negeri?

Tren Global Pemimpin Dunia yang Dihukum

Dalam beberapa dekade terakhir, tren pertanggungjawaban hukum terhadap pemimpin dunia semakin meningkat. Mantan presiden, perdana menteri, hingga diktator di berbagai negara telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan domestik maupun internasional. Contohnya termasuk mantan presiden Korea Selatan, Brasil, Peru, hingga diktator seperti Nicolae Ceausescu (Rumania) dan Manuel Noriega (Panama).

Korea Selatan, misalnya, telah menjatuhkan hukuman terhadap empat mantan presiden, dengan tuduhan mulai dari korupsi hingga pelanggaran hak asasi manusia. Di Peru, hampir semua presiden sejak 1990 menghadapi tuduhan korupsi, yang berujung pada hukuman, penahanan sementara, atau pengunduran diri.

Potensi Pengadilan Jokowi

Untuk dapat diadili, seseorang harus memenuhi kriteria tertentu, termasuk adanya alat bukti yang cukup dan yurisdiksi pengadilan yang sesuai. Di tingkat internasional, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dapat mengadili kasus korupsi besar jika dianggap sebagai kejahatan lintas batas. Namun, ICC biasanya menangani kasus pelanggaran berat seperti genosida atau kejahatan perang.

Selain itu, pengadilan domestik di negara lain, seperti Amerika Serikat atau negara Eropa, dapat mengadili mantan pemimpin jika ditemukan bukti pencucian uang atau kejahatan finansial yang melibatkan sistem keuangan mereka. Contohnya adalah Manuel Noriega, yang dihukum di AS atas tuduhan perdagangan narkoba dan pencucian uang.

Namun, OCCRP dan HGCC sendiri bukan lembaga penegak hukum. Mereka berfungsi sebagai lembaga riset dan advokasi, mendokumentasikan data terkait korupsi global. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki otoritas untuk mengajukan kasus langsung ke pengadilan internasional.

Kemampuan Deteksi Aliran Dana

Kemampuan OCCRP untuk mendeteksi aliran dana mencurigakan telah terbukti dalam berbagai kasus internasional. Namun, untuk membawa kasus ke pengadilan, mereka membutuhkan kolaborasi dengan otoritas penegak hukum di negara-negara terkait. Jika ada bukti bahwa Jokowi memiliki aset atau aliran dana ilegal di negara lain, seperti AS atau Eropa, penyelidikan bersama dapat dilakukan, berpotensi berujung pada tuntutan hukum.

Kesimpulan

Meskipun laporan OCCRP menempatkan Jokowi sebagai finalis dalam daftar tokoh dunia paling korup, proses hukum tetap membutuhkan bukti kuat dan yurisdiksi yang sesuai. Baik pengadilan nasional maupun internasional hanya dapat bergerak jika alat bukti yang sah dan kredibel ditemukan.

Di sisi lain, masuknya nama Jokowi dalam daftar ini menjadi peringatan serius tentang pentingnya transparansi dan akuntabilitas bagi para pemimpin, tidak hanya di Indonesia tetapi juga secara global.

Catatan: Artikel ini disusun berdasarkan kode etik jurnalistik, dengan mengutamakan keberimbangan dan akurasi dalam menyajikan data yang tersedia. (**)