Oleh: Dahlan Muhammad
JAKARTA RAYA – Tahun 2025 tampaknya menjadi babak yang penuh tantangan bagi Indonesia, baik di ranah politik maupun ekonomi. Pertikaian elite politik yang saling sandera menunjukkan wajah gelap demokrasi, sebuah antiklimaks yang mencerminkan belum matangnya pengaruh kekuasaan dalam menjaga stabilitas. Istilah “Parcok” yang mulai muncul sejak Pilpres hingga Pilkada kini menjadi simbol pertarungan sengit yang tak mengenal batas, melibatkan berbagai level dari desa hingga elite nasional.
Saling Sandera Tanpa Rem
Para tokoh, termasuk guru besar dan pengamat, telah menyerukan pentingnya etika dalam berpolitik dan berdemokrasi. Namun, suara mereka tampaknya tak mendapat perhatian. Kondisi ini menciptakan kebuntuan politik yang terus menggunung, memicu kekecewaan rakyat terhadap perseteruan tak berujung.
Meski semangat memberantas korupsi terus digaungkan, seperti yang sering disampaikan Presiden Prabowo Subianto, kenyataan menunjukkan sebaliknya. Kasus korupsi besar, seperti yang melibatkan Harvey Moeis dengan nilai fantastis Rp300 triliun, hanya berujung pada hukuman 6,5 tahun penjara. Di sisi lain, kasus Hasto Kristiyanto yang ditangani KPK dan dokumen yang dibawa Connie Rahakundini Bakrie ke Rusia semakin memperkeruh suasana, menjadi gambaran politik saling sandera yang gelap.
Ekonomi Terjepit, Rakyat Terabaikan
Di tengah dinamika politik, persoalan ekonomi pun menjadi sorotan. Rencana penerapan pajak 12% yang sebenarnya telah disahkan melalui UU HPP pada Oktober 2021 kini kembali menuai polemik. Saat itu, keputusan ini disambut dingin, tetapi kini menjadi bahan perdebatan sengit.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga mengalami tekanan signifikan. Pada Desember 2021, nilai tukar berada di Rp14.263, namun pada akhir Desember 2024, nilai tukar melonjak menjadi Rp16.255, mencatatkan selisih Rp1.850. Kondisi ini memperburuk daya beli masyarakat yang telah merosot dalam lima bulan terakhir. Sementara itu, defisit anggaran dan jatuh tempo utang sebesar Rp700 triliun menjadi bom waktu bagi perekonomian nasional.
Hilangnya Kepercayaan Rakyat
Di tengah hiruk-pikuk politik dan ekonomi, rakyat justru menjadi pihak yang paling dirugikan. Dengan daya beli yang terus menurun dan harga kebutuhan pokok yang semakin tak terjangkau, kepercayaan terhadap pemerintah mulai memudar. Bahkan kebijakan pemberian makanan bergizi dengan harga lebih murah, dari Rp17.000 menjadi Rp10.000, dianggap tidak cukup untuk menutup kebutuhan gizi masyarakat yang semakin terancam.
Situasi ini menjadi tanda-tanda semakin mengentalnya kebuntuan pikiran di kalangan elite politik. Jika kondisi ini terus dibiarkan, tahun 2025 bisa menjadi tahun hilangnya harapan rakyat terhadap pemimpin mereka.
Masa Depan yang Menunggu Kepastian
Kebuntuan politik yang menunggu keputusan dari Rusia dan tekanan ekonomi yang menantikan senyum Presiden Prabowo terkait kebijakan pajak 12% mencerminkan ketidakpastian masa depan Indonesia. Pertanyaannya, apakah elite bangsa ini mampu keluar dari penjara kepentingan pribadi dan melihat masa depan bangsa secara utuh?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah Indonesia di tahun 2025: menjadi bangsa yang tangguh menghadapi tantangan atau tenggelam dalam pusaran konflik yang tak berkesudahan. (***)
Tinggalkan Balasan