JAKARTA RAYA – Kasus dugaan penggunaan identitas ganda oleh istri Wali Kota Bekasi, Dwi Setyowati (sebelumnya dikenal sebagai Wiwiek Hargono), membuka babak baru dalam sorotan publik.

Bukan sekadar isu pribadi, tetapi juga menguji sejauh mana kepatuhan penyelenggara negara, beserta keluarganya terhadap prinsip integritas, keteladanan, dan pengelolaan keuangan negara yang bersih.

Keteladanan Penyelenggara Negara dan Keluarganya

Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus menilai bahwa penyelenggara negara, termasuk keluarganya, memegang tanggung jawab moral dan hukum untuk menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Dalam hal ini, peran istri kepala daerah tak bisa dipandang sebelah mata, terutama saat menjabat sebagai Ketua TP PKK dan Ketua KORMI Kota Bekasi dua posisi strategis yang berhubungan langsung dengan program-program berbasis anggaran daerah.

Dia menilai penggunaan identitas ganda berpotensi melanggar prinsip integritas dan akuntabilitas yang diamanatkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Bagaimana mungkin seorang istri kepala daerah, yang seharusnya menjadi teladan, justru diduga menggunakan identitas palsu? Ini bukan lagi sekadar urusan nama, tapi soal kejujuran di tengah kepercayaan publik,” tegas Iskandar Sitorus kepada Mediakarya, Senin (17/3/2025).

Menurutnya, dari sudut pandang etika pemerintahan, tindakan tersebut melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan. Regulasi ini menegaskan bahwa Ketua TP PKK adalah figur teladan di masyarakat.
Selain itu, Iskandar menyoroti potensi pelanggaran Pasal 4 Ayat 1 Huruf d UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang melarang tindakan mengandung unsur penipuan atau penyalahgunaan wewenang.

Potensi Tindak Pidana: Pemalsuan Identitas Bukan Perkara Sepele

Jika terbukti, dugaan identitas ganda ini bisa berlanjut ke ranah pidana. Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat) menjadi landasan hukum yang berpotensi menjerat pihak terkait.

“Ini penting karena istri pejabat publik memegang posisi yang bersinggungan dengan dana publik. Pemalsuan identitas bisa membuka celah penyalahgunaan wewenang dan anggaran,” tambah Iskandar.

Audit Keuangan: Mengungkap Potensi Kerugian Negara

Sebagai Ketua TP PKK dan Ketua KORMI, Dwi Setyowati berwenang mengelola program berbasis anggaran daerah. Dugaan identitas ganda memunculkan kekhawatiran terkait double budgeting, rekening ganda, hingga penggunaan dana hibah dengan nama berbeda.

UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menjadi dasar hukum penting untuk menelisik aliran dana di dua organisasi tersebut.

Iskandar menekankan perlunya audit kepatuhan dan forensik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Inspektorat Daerah. Beberapa poin penting yang harus diselidiki meliputi:

  • Pencocokan identitas penerima manfaat dana publik.
  • Analisis mutasi rekening yang berpotensi ganda.
  • Verifikasi administrasi kepegawaian dan struktur kepemimpinan organisasi.

Potensi kerugian negara juga tak bisa diabaikan. Bila ditemukan bukti penyalahgunaan dana, maka Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berpotensi menjerat pihak yang terbukti memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara.

Polri dan Kementerian Dalam Negeri Harus Bertindak

Iskandar menegaskan bahwa aparat penegak hukum, khususnya Bareskrim Polri, harus membongkar motif di balik penggunaan identitas ganda ini. Termasuk menelusuri kemungkinan adanya rekening ganda dan aliran dana publik yang tidak sah.

Lebih lanjut, Kementerian Dalam Negeri juga didorong untuk mengevaluasi jabatan publik yang diemban keluarga pejabat daerah. “Kalau terbukti ada pemalsuan identitas, jabatan publik harus dievaluasi. Ini soal kepercayaan publik yang harus dipulihkan,” tambah Iskandar.

Ditegaskan Iskandar Sitorus, kasus ini bukan sekadar urusan nama atau sapaan beken semata. Di balik dugaan identitas ganda, ada potensi pelanggaran hukum, etika publik, hingga kerugian keuangan negara yang harus diungkap secara transparan. Yang paling utama, kasus ini menjadi ujian besar bagi integritas pejabat publik dan keluarganya, apakah benar mereka layak menjadi teladan bagi masyarakat?

Oleh karena itu, Iskandar menegaskan bahwa kasus istri Walikota Bekasi perlu dikaji dari perspektif tingkat kepatuhan penyelenggara negara, integritas keluarga dan keteladanan pejabat publik

Sebab, penyelenggara negara, termasuk keluarganya, memiliki kewajiban moral dan hukum untuk menjadi teladan bagi masyarakat. Dalam konteks ini, istri Wali Kota Bekasi yang menjabat sebagai Ketua TP PKK dan KORMI memiliki peran publik yang strategis.

Penggunaan identitas ganda berpotensi melanggar prinsip integritas dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Paling tidak telah lahir potensi pelanggaran etika. Secara etika pemerintahan, penggunaan identitas ganda bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, yang menekankan peran Ketua TP PKK sebagai figur teladan di masyarakat. Selain itu, terkait pasal 4 Ayat 1 Huruf d UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan melarang tindakan yang mengandung unsur penipuan atau penyalahgunaan wewenang,” urai Iskandar Sitorus.

Jika terbukti maka itu tindak pidana identitas palsu. Dari perspektif hukum pidana, dugaan pemalsuan identitas dapat dijerat dengan Pasal 378 KUHP (penipuan) dan Pasal 263 KUHP (pemalsuan surat). Ini penting karena istri pejabat publik memegang posisi yang terkait dengan pengelolaan dana publik.

Kajian dari Sisi Keuangan Negara dan Audit Penggunaan APBD

Sebagai Ketua TP PKK dan Ketua KORMI, Dwi Setyowati (alias Wiwiek Hargono) memiliki akses terhadap program-program berbasis anggaran daerah. Bila ada penggunaan identitas ganda, perlu diaudit apakah ada double budgeting, rekening ganda, atau penggunaan dana hibah yang tidak sah atas nama identitas yang berbeda.

Hal ini mengacu pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Untuk itu perlu audit kepatuhan dan forensik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat Daerah. Dilakukan. audit kepatuhan dan forensik terhadap pengelolaan anggaran KORMI dan TP PKK Bekasi.

Fokus audit meliputi:

  • Pencocokan identitas penerima manfaat dana publik.
  • Analisis mutasi rekening yang terindikasi ganda.
  • Verifikasi administrasi kepegawaian dan kepemimpinan organisasi terkait.

Potensi kerugian keuangan negara akan timbul jika terbukti ada rekening ganda atau penyalahgunaan dana, maka sesuai Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pelaku bisa dijerat karena memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara.

Polri harus mengusut motif di balik penggunaan identitas ganda, termasuk mengecek potensi rekening ganda dan aliran dana publik. Audit Independen BPK atau lembaga audit independen perlu dilibatkan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan anggaran daerah dalam kegiatan TP PKK dan KORMI Bekasi.

“Oleh karena itu dievaluasi jabatan publik terhadap pemerintah daerah kota Bekasi. Kementerian Dalam Negeri harus mengevaluasi jabatan publik yang diemban oleh keluarga pejabat daerah, terutama jika terbukti ada pemalsuan identitas,” tutup Iskandar Sitorus. (hab)