Oleh Ir. Effendi Sianipar, M.M., M.Si.
Pilkada Jakarta berlangsung dalam suasana tenang dan damai. Pram dan Doel menang tanpa intimidasi, lahir dari kompetisi yang sehat dan beretika.
Jakarta sudah bukan lagi ibu kota, sementara IKN belum sepenuhnya terwujud secara fisik sebagai ibu kota. Kini, Jakarta dipimpin oleh seorang yang matang dalam manajemen pemerintahan dan berduet dengan sosok yang memahami kebudayaan Betawi sekaligus seorang pelaku budaya.
Banyak pekerjaan besar yang perlu dituntaskan, seperti transportasi umum yang layak dan cepat, dengan integrasi antara LRT, MRT, TransJakarta, dan JakLingko guna mempercepat konektivitas. Selain itu, kebersihan DKI Jakarta yang ditunjang oleh Pasukan Oranye serta pembangunan rumah susun untuk mengurangi kawasan kumuh dan menyediakan layanan bus sekolah juga menjadi prioritas.
Dalam hal efisiensi anggaran, Pemerintah Jakarta berencana melakukan penghematan pada pos makan dan minum senilai Rp750 miliar. Kita tunggu langkah selanjutnya dalam efisiensi anggaran yang masuk akal secara efektif, sehingga dapat dialihkan ke program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat.
Sebelas program 100 hari kerja telah mulai direalisasikan, seperti job fair dan pemberian transportasi gratis bagi lansia. Ini menjadi bukti nyata komitmen terhadap janji kampanye yang akan diikuti dengan program-program lainnya.
Sejak lama, Jakarta dihadapkan pada berbagai tantangan, salah satunya adalah kualitas udara yang terus memburuk. Ini menjadi pekerjaan besar untuk melindungi masyarakat dari penyakit pernapasan.
Luas ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta saat ini hanya mencakup 5,18 persen dari total wilayah, jauh dari amanat undang-undang yang menetapkan minimal 30 persen. Upaya peningkatan RTH harus dilakukan dengan ukuran yang jelas serta melibatkan partisipasi masyarakat.
Permasalahan air tanah di Jakarta juga semakin memprihatinkan. Sekitar 80 persen air tanah pada akuifer bebas (akuifer dangkal) tidak memenuhi standar baku mutu air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 492/MENKES/PER/VI/2010. Padahal, air tanah pada akuifer dangkal masih menjadi sumber utama bagi masyarakat menengah ke bawah untuk keperluan minum dan MCK. Sementara itu, sekitar 85 persen air tanah pada akuifer tertekan (akuifer dalam) juga tidak memenuhi standar kualitas air minum.
Kehadiran Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 94 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah menjadi langkah awal dalam mengendalikan penggunaan air tanah. Gedung atau bangunan dengan minimal delapan lantai dan luas lantai 5.000 meter persegi kini tidak direkomendasikan lagi untuk menggunakan air tanah. Namun, sebagian besar wilayah utara cekungan air tanah (CAT) Jakarta terus mengalami penurunan muka tanah, dengan tingkat penurunan mencapai 12 sentimeter per tahun.
Banjir di Jakarta masih menjadi persoalan yang terus diupayakan penanganannya. Sayangnya, sistem drainase perkotaan sering kali terlupakan dan memiliki masalah tersendiri. Faktor kemiringan saluran atau slope menjadi aspek penting yang mempengaruhi kecepatan aliran air. Oleh karena itu, memeriksa kemiringan saluran dan memastikan kesesuaiannya dengan kondisi mikrorelief setempat adalah hal esensial.
Masalah sampah juga menjadi tantangan besar bagi Jakarta. Saat ini, produksi sampah harian mencapai lebih dari 8.000 ton, dengan tren peningkatan setiap tahunnya. Keseriusan dalam mengelola sampah dan limbah harus menjadi perhatian utama. Program bantuan untuk RW dan RT diharapkan dapat dikelola dengan baik guna mendukung Jakarta yang bersih.
Dengan berbagai tantangan besar seperti banjir, kualitas udara dan air, serta permasalahan sampah, pemerintah dituntut untuk bekerja dengan serius. Kami berharap seluruh elemen masyarakat dapat berpartisipasi dalam mewujudkan karya besar Mas Pram dan Bang Doel menuju Jakarta Menyala.
Semoga keberhasilan dapat dicapai dengan ukuran yang terukur. (***)
Tinggalkan Balasan