Mohamad Fuad, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Publik dan Sosial (Puskas)

Keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan hidup kian mendesak untuk diperbincangkan secara serius. Kerusakan lingkungan—baik akibat faktor alam maupun aktivitas manusia—telah mengancam kehidupan biodiversitas, kesehatan masyarakat, hingga masa depan planet ini. Pencemaran udara dan air, deforestasi, hilangnya terumbu karang, serta eksploitasi sumber daya alam secara masif merupakan gejala nyata yang tidak bisa diabaikan.

Darurat Ekologi dan Kebijakan Eksploitasi

Dalam satu dekade terakhir, arah kebijakan pembangunan di Indonesia—khususnya di sektor hilirisasi dan proyek strategis nasional (PSN)—dinilai sebagian kalangan terlalu berorientasi pada kepentingan korporasi. Beberapa kelompok masyarakat sipil, termasuk aktivis lingkungan, menyuarakan kekhawatiran atas kerusakan ekologi yang muncul akibat pendekatan pembangunan yang dinilai tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Mereka menyebut bahwa wilayah-wilayah penting ekologis, seperti Raja Ampat di Papua, terancam oleh proyek-proyek ekstraktif yang mengedepankan nilai ekonomi semata.

Stigma “Wahabi Lingkungan”: Polemik Narasi

Pernyataan cendekiawan Muslim, Ulil Abshar Abdalla, yang menyebut para pegiat lingkungan sebagai “wahabi lingkungan” memicu kontroversi di ruang publik. Istilah tersebut dianggap sebagian pihak sebagai upaya stigmatisasi terhadap kelompok yang kritis terhadap eksploitasi lingkungan.

Dalam konteks ini, penting untuk mengedepankan prinsip etika dalam berdiskusi. Menempelkan label ideologis atau sektarian kepada para pegiat lingkungan tanpa dasar argumen faktual dan akademis, dikhawatirkan justru mengaburkan persoalan utama, yakni keberlanjutan lingkungan dan keadilan ekologis.

Padahal, dalam berbagai ajaran agama, termasuk Islam, terdapat seruan kuat untuk menjaga alam sebagai amanah dari Tuhan. Gus Dur, sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU), bahkan dikenal konsisten dalam memperjuangkan isu-isu kemanusiaan dan lingkungan. Oleh karena itu, upaya untuk menyederhanakan perjuangan aktivis lingkungan sebagai bentuk radikalisme tentu memerlukan klarifikasi dan diskusi yang jernih.

Memperkuat Perspektif Etis dan Kritis

Pengelolaan sumber daya alam seharusnya didasarkan pada prinsip keadilan sosial, kemaslahatan bersama, dan keberlanjutan lingkungan. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan ekologis, termasuk menghormati hak-hak masyarakat adat yang terdampak langsung oleh eksploitasi lahan.

Penting bagi semua pihak, baik pemerintah, akademisi, tokoh agama, maupun aktivis, untuk menghindari polarisasi berlebihan dalam diskursus lingkungan. Isu lingkungan bukanlah pertarungan ideologis semata, melainkan soal kelangsungan hidup umat manusia.

Menjaga NU dari Kepentingan Eksternal

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keberpihakannya pada rakyat, terutama dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan. Jika ada kekhawatiran bahwa kepentingan jangka pendek ekonomi atau kekuasaan mulai mengaburkan nilai-nilai keadilan ekologis, maka diskursus internal perlu terus digalakkan demi memastikan NU tetap berada di garda depan menjaga bumi sebagai rumah bersama.

Stigma dan pelabelan terhadap aktivis lingkungan tidak seharusnya menjadi alat untuk membungkam kritik. Perbedaan pandangan adalah bagian dari demokrasi, namun harus disikapi dengan argumentasi yang beradab dan dialog yang konstruktif. Semoga bangsa ini semakin matang dalam menata pembangunan yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada lingkungan serta generasi mendatang. (***)