JAKARTA RAYA | JAKARTA
Pemerintah melalui kementerian ESDM memiliki opsi mengubah pola subsidi BBM menjadi BLT dengan tujuan, agar tepat sasaran. Namun, opsi itu mendapat kritikan dari sejumlah ekonom.
Ekonom UPN Veteran-Jakarta, Achmad Nur Hidayat (ANH) mengingatkan agar tim ekonomi pemerintahan Presiden Prabowo agar berhati-hati dalam memutuskan soal pengalihan subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT), serta rencana penghapusan Pertalite.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Itu kebijakan berisiko tinggi bagi stabilitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia untuk saat ini. Pak Prabowo sebagai presiden yang baru terpilih, perlu berhati-hati dalam mendukung kebijakan ini, karena dampak negatif yang ditimbulkan, lebih besar,” papar ANH, Jakarta, dikutip inilah com, Minggu (3/11).
Dampak negatif tersebut, lanjut ANH, pengalihan subsidi BBM ke BLT memiliki dua risiko utama, yaitu akurasi data penerima dan risiko ketergantungan yang semakin dalam terhadap subsidi pemerintah.
“Kedua, penghapusan Pertalite dengan menggantinya menjadi Pertamax Green 92 akan membuat harga BBM semakin mahal bagi masyarakat luas, yang selama ini mengandalkan BBM jenis Pertalite sebagai pilihan yang lebih terjangkau,” ungkapnya.
Kenaikan harga BBM itu, lanjut ANH, akan menambah beban pengeluaran bagi rumah tangga kelas menengah ke bawah, yang bisa memicu ketidakstabilan sosial dan potensi kerusuhan.
Jika BLT diterapkan, menurut ANH, masalah akan terjadi pada akurasi data penerimanya. Pengalaman sebelumnya, distribusi BLT kerap kali menghadapi tantangan validasi data penerima.
“Tidak semua masyarakat yang benar-benar membutuhkan bisa terdaftar, sementara mereka yang tidak seharusnya menerima, justru terdata sebagai penerima. Pemicunya, kurang pembaruan data penduduk dan infrastruktur pencatatan yang belum memadai di berbagai wilayah Indonesia,” ungkapnya.
Kondisi ini, kata ANH, bisa mengakibatkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang terdampak langsung oleh penghapusan subsidi BBM tetapi tidak mendapat BLT sebagai kompensasi.
Untuk mencegah masalah ini, pemerintah perlu melakukan verifikasi dan pembaruan data secara cermat. Namun, ini membutuhkan waktu dan biaya yang besar. Jika data penerima tidak akurat, maka alokasi BLT bisa salah sasaran dan malah memperburuk situasi sosial ekonomi.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan adanya opsi mengganti pola subsidi BBM menjadi BLT agar lebih tepat sasaran. Saat ini, seluruh opsi tengah dibahas oleh Tim Penggodokan Formulasi Subsidi Energi yang Efisien.
“Ada beberapa formulasi, salah satu alternatifnya seperti itu (BLT). Nanti itu keputusannya akan disampaikan setelah tim ini bekerja dan selesai. Kami akan lapor kepada bapak presiden,” kata Bahlil usai Rapat Terbatas terkait subsidi energi di Istana Presiden, Jakarta, Kamis (31/10).
Bahlil yang menjabat Ketua Tim Penggodokan Formulasi Subsidi Energi yang Efisien itu, dibantu Ketua Badan Pengendalian Pembangunan dan Investigasi Khusus, Aris Marsudiyanto.
Namun Bahlil belum bisa memastikan pemerintah akan setop pemberian subsidi kepada PT Pertamina (Persero), menggantinya dengan BLT atau skema lain. “Belum bisa saya jawab itu,” kata Bahlil. (jr)