JAKARTA RAYA – Mantan Direktur Utama PT Pertamina, Galaila Karen Kardinah (GKK) atau yang karib disapa Karen Agustiawan (KA) merasa keberatan atas penetapan tersangka dirinya dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina tahun 2011-2021.
Akan hal itu, kemudian Karen membuat surat terbuka yang dilayangkan kepada Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi). Dalam surat tersebut, Karen mengklaim menjadi korban atas pasal karet.
Kuasa hukum Karen, Luhut M. P. Pangaribuan menyatakan surat tersebut sudah dikirim dan diterima pihak Istana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ya sudah diterima melalui Sekneg,” kata Luhut saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Rabu (4/10/2023).
Isi Surat Terbuka Karen
Mantan Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kasus yang menjeratnya. Karen mengklaim menjadi korban pasal karet dalam sistem penegakan hukum di Indonesia.
Karen sebelumnya ditetapkan tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair di PT Pertamina.
“Terdapat pasal-pasal karet yang bersifat multi-interpretasi sehingga penegakan hukum disalahartikan yang mengakibatkan kerugian bisnis di BUMN dapat dijadikan dasar oleh Aparat Penegak Hukum (APH} sebagai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Saya adalah salah satu korbannya,” tulis Karen.
Dia melaporkan dirinya ditersangkakan terkait jabatannya sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 terkait kontrak Pengadaan LNG dari Sabine Pass dan Corpus Christie Liquefaction (CCL) yang dilakukan Pertamina pada 2013 dan 2014. Pengiriman LNG tersebut berlangsung pada 2019 hingga 2040.
Karen mengaku terkejut karena kontrak yang ditandatangani pada 2013 dan 2014 oleh Pertamina sudah dibatalkan atau diganti dengan kontrak baru pada tanggal 20 Maret tahun 2015.
“Pada saat itu saya sudah tidak menjabat lagi sebagai Direktur Utama Pertamina, karena terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2014 saya sudah resmi mengundurkan diri,” katanya.
Dia menyampaikan, Pertamina pada tahun 2019 telah mendapatkan keuntungan senilai US$2,2 juta dari pengadaan ini. Berakhirnya pandemi dan krisis gas di Eropa sebagai akibat dari peperangan di Rusia dan Ukraina membuat harga LNG naik 3 hingga 5 kali lipat dari harga pembelian.
“Sehingga, Pertamina kini justru membukukan keuntungan sekitar US$91,5 juta,” tulis Karen.
Karen mengaku menulis surat ini bukan untuk meminta keringanan atau perlakuan khusus. Dia mengatakan hanya merasa bangga karena negeri ini telah dan sedang memiliki sumber gas dari luar negeri hingga 2040 dengan harga di bawah pasar dunia.
“Oleh sebab itu maksud dan tujuan dari surat saya ini adalah untuk menyampaikan informasi bahwa kontrak jangka panjang LNG CCL ini merupakan harta-karun yang mungkin belum disadari sepenuhnya oleh para aparatur negara, utamanya para APH, termasuk masyarakat umum,” katanya.
Dia khawatir proses hukum yang sedang berjalan saat ini dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara sebagai akibat dari kehilangan kontrak tersebut.
Hal ini dikarenakan dalam kontrak LNG CCL diatur ketentuan bahwa: apabila salah satu pihak telah melanggar peraturan dalam kontrak, yakni Pertamina dituduh melanggar undang-undang dalam kontrak pengadaan LNG, maka pihak CCL selaku penjual dapat melakukan pembatalan kontrak secara sepihak.
“Saya mohon perhatian Bapak Presiden dan seluruh pihak terkait guna memastikan bahwa proses hukum ini dijalankan sesuai dengan sistem penegakan hukum yang benar demi kebaikan negara, bukan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu yang justru akan mengakibatkan kerugian negara yang nyata dan lebih besar,” katanya.(hab)
Penulis : Hadits Abdillah
Editor : Hadits Abdillah