JAKARTA RAYA – PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SIG), perusahaan semen terkemuka di Indonesia, menghadapi tahun 2024 yang penuh tantangan. Penurunan kinerja finansial dan operasional menjadi sorotan utama, sekaligus menjadi peringatan bagi perusahaan pelat merah ini.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III/2024, pendapatan SIG turun 4,93% secara tahunan (yoy), dari Rp27,66 triliun menjadi Rp26,29 triliun. Beban operasi lainnya mencatat defisit sebesar Rp30,41 miliar, berbanding terbalik dengan pendapatan operasi lainnya yang mencapai Rp85,21 miliar.
Akibatnya, laba bersih yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk anjlok 58%, dari Rp1,72 triliun pada kuartal III/2023 menjadi Rp719,72 miliar di periode yang sama tahun 2024.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh melemahnya permintaan di sektor konstruksi akibat stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional dan kebijakan moneter yang lebih ketat. Banyak proyek konstruksi besar terpaksa ditunda, mengakibatkan penurunan konsumsi semen secara signifikan.
Selain tantangan finansial, SIG juga berada di bawah tekanan isu lingkungan. Emisi karbon dan dampak pertambangan bahan baku semen semakin menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat.
Direktur Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi, menilai SIG lamban dalam beradaptasi dengan tuntutan regulasi lingkungan. Ia meminta perusahaan memperhatikan dampak operasi pabrik terhadap ekosistem lokal.
“Semen Indonesia harus bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar dengan mengurangi dampak negatif dari operasi pabriknya,” ujar Uchok.
Uchok juga mendesak pemerintah melalui Kementerian BUMN, sebagai pemegang saham mayoritas, untuk mengevaluasi kinerja direksi dan komisaris SIG.
“Pemerintah harus segera mengevaluasi jajaran direksi dan komisaris. Jika kinerja tetap lambat dan tidak ada perbaikan tata kelola, direksi sebaiknya dicopot,” tegasnya.
Menurut Uchok, direksi SIG harus mampu beradaptasi dengan situasi sulit, mengingat banyaknya proyek yang tertunda. “Bila perlu, komisaris dan direksinya diganti karena terbukti lamban beradaptasi dengan tantangan bisnis,” tambahnya.
Di tengah penurunan kinerja SIG, pesaing lokal dan internasional mulai agresif memasuki pasar semen Indonesia. Mereka menawarkan produk dengan harga lebih kompetitif dan teknologi ramah lingkungan, yang menarik perhatian konsumen dan semakin menekan posisi SIG.
Akibat persaingan ketat dan penurunan kinerja, harga saham SIG anjlok 12,5% year-to-date (ytd) menjadi Rp2.870 per saham. Investor khawatir dengan membengkaknya utang perusahaan, yang berpotensi memicu gagal bayar jika tren ini berlanjut.
Manajemen SIG berusaha meyakinkan pemegang saham bahwa perbaikan sedang diupayakan. Namun, banyak pihak meragukan kemampuan perusahaan untuk bangkit dengan cepat.
Dengan rangkaian tantangan yang ada, tahun 2025 menjadi periode krusial bagi SIG. Mampukah perusahaan ini bertahan dan mengatasi tekanan dari berbagai sisi? Waktu yang akan menjawab. (hab)