Oleh Mohamad Fuad, Pengamat Politik dan Dosen Universitas Gunadarma
Gus Dur, pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), memiliki harapan besar untuk partainya agar menjadi organisasi politik yang modern, demokratis, dan inklusif. PKB tidak hanya diharapkan menjadi saluran aspirasi politik, tetapi juga agen perubahan yang memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, terutama warga Nahdlatul Ulama (NU). Hal ini sejalan dengan visi yang terkandung dalam mabda siyasi PKB yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sosial.
Kultur yang Membentuk PKB
Partai Kebangkitan Bangsa tumbuh dengan kultur yang diwarisi dari NU, yaitu aswaja, supremasi kyai, dan kebangsaan. Nilai-nilai inilah yang selama ini menjadi kekuatan PKB dan membuatnya mampu bertahan di kancah politik Indonesia. Namun, kini, budaya tersebut mengalami pergeseran, terutama dalam hal pengambilan keputusan politik di tubuh partai.
Ketaatan yang Tak Lagi Substansial
Seiring berjalannya waktu, budaya ketaatan kepada kyai dan ulama dalam PKB semakin tergerus. Dulu, ketaatan tersebut dilakukan dengan tulus dan substansial, tetapi kini banyak keputusan penting dalam partai, seperti penentuan calon presiden, wakil presiden, menteri, hingga calon legislatif, yang tidak lagi melibatkan ulama secara aktif. Keputusan-keputusan tersebut lebih didominasi oleh pihak-pihak tertentu yang sering kali bertentangan dengan harapan para kader yang telah berjuang untuk PKB. Praktik ini menyebabkan kekecewaan di kalangan kader yang merasa partai semakin menjauh dari nilai-nilai keadilan dan profesionalisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penyimpangan dalam Pengelolaan Partai
Para anggota legislatif yang berhasil meraih kursi melalui perjuangan keras seringkali merasa terbebani dengan program-program yang mengharuskan mereka menyediakan dana tambahan, meskipun mereka telah berjuang mati-matian untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Kondisi ini semakin memperburuk citra PKB sebagai partai politik yang tidak mengutamakan kepentingan bersama, melainkan lebih mementingkan kepentingan segelintir elit partai.
Kapitalisasi Politik dan Oligarki dalam PKB
Salah satu fenomena yang mencolok dalam PKB saat ini adalah kapitalisasi politik yang semakin menguat. Degradasi moral dan tumbuhnya oligarki politik membuat praktik politik di partai ini semakin memprihatinkan. Tradisi memprioritaskan kepentingan keluarga elit dan kapitalistik menggambarkan semakin menurunnya kualitas etika, moral, dan norma dalam berpolitik.
Mentalitas Korupsi di Lingkungan Partai
Mentalitas korup yang berkembang di kalangan elit PKB semakin memperburuk situasi. Dalam masyarakat modern yang kental dengan pengaruh kapitalisme, banyak anggota partai yang menganggap harta dan tahta sebagai tujuan utama dalam berpolitik, bukan untuk mengabdi kepada rakyat dan negara. Praktek ini menggambarkan betapa pentingnya reformasi internal dalam PKB agar kembali pada semangat perjuangan Gus Dur.
Masa Depan PKB: Reformasi yang Harus Dilakukan
PKB, sebagai partai politik yang besar, harus mampu meninggalkan kultur-kultur negatif yang saat ini berkembang. Partai ini perlu melakukan reformasi internal untuk menjauhkan diri dari praktik-praktik diskriminatif, oligarki politik, dan kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir elit. Reformasi ini akan memastikan bahwa PKB tetap relevan dan mampu mewujudkan cita-cita Gus Dur untuk menjadi agen perubahan yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dengan perbaikan ini, PKB diharapkan dapat kembali menjadi partai yang memimpin dengan integritas, profesionalisme, dan berlandaskan pada nilai-nilai keadilan serta pengabdian kepada rakyat. Hal ini akan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap PKB sebagai partai yang mampu memberikan perubahan yang nyata dan berkelanjutan. (***)
Penulis : Hadits Abdillah
Editor : Hadits Abdillah