JAKARTA RAYA – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Karawang tinggal menghitung hari. Namun, menjelang berakhirnya masa kampanye, sejumlah pelaku usaha mengungkapkan kekhawatirannya jika calon kepala daerah yang berlatar belakang pengusaha terpilih sebagai pemenang.
“Sebab, jika calon kepala daerah berasal dari pengusaha, mindset dan orientasinya bisa terfokus pada keuntungan pribadi, tanpa memperhatikan kompetitor lainnya,” ujar Firman, seorang pengusaha yang aktif di bidang konstruksi, saat berbincang dengan sejumlah awak media di Karawang, Ahad (10/11/2024).
Menurut Firman, jika Pilkada Karawang dimenangkan oleh calon bupati yang berlatar belakang pengusaha, penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikhawatirkan akan dimonopoli oleh kelompok tertentu yang merupakan orang dekat bupati terpilih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Selama beberapa tahun terakhir, banyak pengusaha yang mengeluh karena tidak mendapatkan pekerjaan, karena semuanya dimonopoli oleh kelompok tertentu. Kami tidak ingin kejadian ini terulang lagi di era kepemimpinan berikutnya. Oleh karena itu, kami berharap Pilkada Karawang dimenangkan oleh sosok yang bukan berasal dari kalangan pengusaha,” tegasnya.
Sebelumnya, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, juga menyampaikan kekhawatirannya terkait banyaknya calon kepala daerah berlatar belakang pengusaha yang bertarung dalam Pilkada kali ini.
“Kami khawatir dengan latar belakang profesi calon kepala daerah yang sebagian besar berasal dari pengusaha atau sektor swasta. Itu hampir setengahnya. Padahal, petahana dulu juga sudah seorang pengusaha, hanya statusnya sekarang sebagai petahana,” kata Pahala dalam konferensi pers, belum lama ini.
Pahala menyoroti dua hal yang menjadi kekhawatirannya. Pertama, adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah terpilih yang memiliki perusahaan pribadi.
“Kami khawatir mereka akan melakukan perbuatan curang yang menguntungkan perusahaan pribadi mereka. Hingga saat ini, belum ada aturan yang mewajibkan pengusaha untuk melepas usahanya jika terpilih menjadi kepala daerah,” ungkap Pahala.
Menurut Pahala, hal ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam proses pengadaan barang dan jasa di daerah, karena perusahaan lain akan enggan mengikuti lelang jika perusahaan tersebut dimiliki oleh kepala daerah yang bersangkutan.
“Misalnya, jika saya seorang kontraktor dan terpilih menjadi kepala daerah, perusahaan saya bisa saja tetap menjalankan usaha, sementara di beberapa daerah, istri kepala daerah pun tetap menjalankan perusahaan karena tidak ada larangan yang jelas,” ujar Pahala.
Kekhawatiran kedua, lanjut Pahala, adalah calon kepala daerah dengan latar belakang pengusaha/swasta biasanya belum memahami birokrasi pemerintahan dengan baik.
Akibatnya, roda pemerintahan bisa terhambat, bahkan berpotensi menyebabkan kepala daerah tersandung kasus korupsi karena ketidaktahuannya terhadap peraturan dan prosedur yang berlaku.
“Jika perbedaan pemahaman ini hanya memperlambat proses, mungkin masih bisa diterima. Namun, jika kepala daerah beralasan ‘Saya pikir tidak ada masalah’ atau ‘Apa salahnya saya tidak mengambil uang sama sekali’, masalahnya bisa berlarut-larut,” kata Pahala.
Berdasarkan analisis KPK terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diserahkan oleh para calon kepala daerah, Pahala mencatat bahwa kekayaan calon kepala daerah dari kalangan pengusaha/swasta cenderung lebih besar dibandingkan dengan calon dari kalangan birokrat atau anggota legislatif.
“Rata-rata, kekayaan calon kepala daerah yang berlatar belakang pengusaha/swasta mencapai ratusan miliar, sementara calon dari birokrat atau anggota legislatif umumnya memiliki kekayaan di bawah angka tersebut,” ungkapnya. (hab)
Penulis : Hadits Abdillah
Editor : Hadits Abdillah