JAKARTA RAYA – Pakar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana mengungkapkan telah membaca gelagat adanya upaya sistematis dan terencana untuk mengganggu iklim demokrasi khususnya Pemilu sejak akhir tahun 2022 lalu.
Mulanya, Denny yang menghadiri dialog secara virtual dengan tema “Pilpres Tanpa Etika dan Penegakan Hukum” oleh Forum Insan Cita itu menceritakan sejak tahun lalu telah membaca gelagat kuat ini.
“Terkait dengan isu yang kita bicarakan hari ini, yang sangat aktual tentang netralitas dan Pemilu. Maka izinkan saya flashback sedikit ke belakang sebenarnya sudah hampir 1 tahun kebelakang saya mengangkat isu ini ke publik,” kata Denny secara virtual, Minggu (4/2/2024).
“Kenapa demikian? Karena sejak akhir tahun 2022, saat saya ada di Tanah Air, liburan akhir tahun Natal dan Tahun Baru, saya sudah membaca gelagat kuat bagaimana ada upaya yang sistematis, terencana untuk mengganggu iklim demokrasi di Tanah Air,” tambah Denny.
Denny pun mengatakan bahwa sejak tahun 2022 telah ada wacana yang mencuat tentang perpanjangan masa jabatan Presiden hingga tiga periode. Kemudian, juga adanya wacana tentang penundaan Pemilu 2024. “Kita sudah sama-sama paham, sama-sama maklum, makfum, bahwa sebelumnya sudah ada wacana tiga periode, wacana penundaan pemilu dan seterusnya.”
Lebih lanjut, Denny pun mengatakan bahwa rangkaian wacana ini harus dilihat ketika baru-baru ini, tepatnya saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa Presiden boleh berkampanye pada Rabu (24/1/2024) lalu. Mengingat, saat ini anak Presiden yakni Gibran Rakabuming Raka sedang ikut kontestasi menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) dari Prabowo Subianto.
“Nah ini semua yang kemudian harus dibaca ketika di ujungnya sekarang Presiden mencoba melegitimasi bahwa aturan Undang-Undang Pemilu itu memberikan kesempatan untuk berkampanye. Itulah cara membaca yang keliru, terutama kalau kita meletakkan teks Undang-Undang Pemilu itu pada konteksnya,” ujar Denny.
Bahkan, Denny mengatakan saat ini ruang-ruang publik telah dipenuhi dengan berbagai intrik yang sangat kasat mata menunjukkan bagaimana Pemilu sebenarnya dari awal telah cacat, dan tidak bisa dikatakan menghadirkan Pemilu yang free and fair. “Pemilu yang free and fair itu sudah gugur ibarat kandungan sebelum dilahirkan. Kenapa demikian? Kata kuncinya adalah cawe-cawe.”
Bahkan, Denny pun telah bertemu dengan Mahfud MD yang pada saat itu masih menjabat sebagai Menko Polhukam untuk berbicara mengenai hal ini. Dia pun menyimpulkan bahwa saat itu hukum telah diperalat untuk strategi pemenangan Pemilihan Presiden (Pilpres).
“Jadi setelah akhir tahun 2022, saya bertemu dengan Menko Polhukam (pada saat itu), Profesor Mahfud MD, saya ketemu rekan-rekan media senior, konsultan-konsultan politik nasional beberapa pengurus tinggi partai politik, rekan-rekan aktivis, saya berkesimpulan bahwa sebagai orang hukum, hukum sedang dimanfaatkan menjadi alat, objek, diperalat untuk strategi pemenangan pemilihan Presiden terutama yang sarat dengan kecurangan dan keculasan,” pungkasnya.(hab)
Tinggalkan Balasan