JAKARTA RAYA-Orang tua dari anak perempuan autis (HP) yang mendapat kekerasan seksual yang diduga dari oknum salah satu gurunya di sebuah sekolah berkebutuhan khusus di Tangsel berharap pelaku diberi hukuman yang setimpal.

Ibu dari HP, 16 tahun, yang enggan disebutkan identitasnya ini mendatangi Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Tangerang Selatan.

“Saya orang tua korban (SV) berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Pak Hendra di PPA Polres Tangsel, yang telah melayani laporan saya secara tepat,” kata orang tua korban, di Cilandak, Jaksel pada Rabu (28/5/2025).

Ia berharap pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal dan pihak sekolah bisa lebih memperhatikan lagi perlakuan oknum guru.

“Saya masih menunggu tindak lanjut dari Polres Tangsel untuk mengungkap pelakunya,” ucapnya.

SV menceritakan awal mula kejadian yang menimpa putrinya. Ia heran sesaat setelah HP pulang dari sekolah menampakkan wajah murung dan duduk di depannya.

Ketika berhadapan dengan sang putri memegang dadanya dan sampai ke bagian vital lainnya. Tidak berhenti sampai di situ, pada seminggu berikutnya HP kembali melakukan hal serupa seolah ingin menceritakan apa yang dialaminya.

Dari peristiwa inilah kemudian SV menghubungi pihak sekolah lewat whatsapp dan menceritakan perlakuan putrinya.

Seakan gayung bersambut, Kemudian Kepala Sekolah menggelar rapat dan membuka petistiwa naas tersebut.

Nah, saat itulah SV melihat ada gelagat aneh dari seorang oknum guru. Bahkan ketika berbicara wajah sang oknum terlihat kaku dan bicaranya terbata-bata.

Sementara itu kuasa hukum korban, Argus Sagitayama menyampaikan, telah melaporkan kejadian ini ke Polres Tangsel pada 18 Maret 2025.

Dalam laporannya, kata Argus membutuhkan ahli psikolog dan terapis untuk bisa sedikit demi sedikit mengungkap dugaan pelaku yang sebenarnya.

Hal ini karena kondisi HP hanya memiliki daya ingat yang terbatas. Bahkan ketika korban berbicara hanya bisa mengingat satu kalimat dan itu terus diulangi.

“Polisi sedang berusaha mengungkap dugaan pelakunya. Mulai dari kepala sekolah sampai semua guru-gurunya,” ujar Argus.

Kemudian, Mohammad Cahyadi dari Malang Autism Center (MAC) sebuah lembaga yang melayani autis, jugq menerima kuasa dari orang tua korban untuk ikut membuka tabir kasus pelecehan ini.

Cahyadi mengungkapkan, perilaku dari individu autism membutuhkan pemahaman dari psikolog untuk membuka peristiwa yang sebenarnya.

Keterbatasan daya pikir dan komunikasi yang hanya bisa satu kalimat membuat pembuktian peristiwa ini membutuhkan waktu dan kerja extra untuk bisa menjelaskan krologis peristiwa.

Penderita autism sambung Cahyadi merupakan gsngguan tumbuh kembang sarap sejak usia dini. Gangguan ini biasanya ada pada bahasa dan komunikasi.

“Bisanya mereka (autism) ada limitasi dalam berkomunikasi dab interaksi sosialnya,” katanya.

Cahyadi menjelaskan, para autism biasanya hanya bisa berbicara lancar pada 10 menit pertama.

“Pada menit ke 11 tiba-tiba dia berbicara kucing, tapi selanjutnya bisa berbicara sekolah,” jelasnya.

Karena itu, ia mengelompokkan HP sebagai penderita limited verbal yang memiliki dampak terhadap pembuktian proses hukum.

Namun demikian, Cahyadi memuji prestasi HP yang telah enam kali memenangkan lomba mewarnai, cipta komik, melukis, dan lainnya.

Karenanya, Ia berharap agar kasus ini bisa segera tuntas dengan bantuan terapi, psikolog untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya. (ali)